Senin, 25 April 2011

Pemikiran Islam Modern

Tajuk diatas tidak dimaksudkan untuk mengidentifikasi Rifa’ah al-Thahthawi sebagai akar penyimpangan pemikiran Islam modern, sebagaimana kesan mula-mula. Judul ini lebih karena mengikuti judul buku darimana tulisan ini berasal. Artikel dibawah ini disarikan dari bagian awal buku yang ditulis Jamal Sulthan berjudul Judzur al-Inhiraf fi al-Fikr al-Islami al-Hadits. Pemilihan Rifa’ah al-Thahthawi kiranya dapat dimengerti. Dialah orang pertama dari masyarakat Muslim yang mula-mula berkenalan dan ”berguru” secara langsung kepada peradaban Barat. Dengan mengenal profilnya, diharapkan kita menjadi lebih sadar peradaban, secara internal maupun eksternal, dalam membaca apapun yang kita baca.

Ditengah kecamuk perang antara pejuang Islam dan pasukan pendudukan Prancis, Rifa’ah dilahirkan pada tahun 1801 M. di Thahtha. Seperti bocah umumnya pada masa itu, Rifa’ah kecil menghafal al-Quran dan sebagian buku-buku agama sampai ayahnya meninggal. Dia kemudian bermigrasi ke Kairo dimana dia bertemu dengan para penghuni al-Azhar, para pencari ilmu yang berdedikasi. Tidak lama kemudian, tampaklah keistimewaan Rifa’ah dibanding sebayanya dalam bidang-bidang seperti fiqh, bahasa, hadis, dan tafsir hingga kemudian dia masuk dalam lingkaran ulama, dimana dia memiliki halaqah ilmiah dalam bidang tafsir. Namun selanjutnya keadaan mendesaknya untuk masuk dalam ketentaraan Mesir yang baru dibentuk oleh Muhammad Ali.
Di saat itulah Rifa’ah berkenalan dengan Syaikhul Azhar, al-Syaikh Hasan al-Aththar, yang sangat berpengaruh dalam mengarahkan pemikirannya tentang kebangkitan modern. Orang inilah yang menyebarkan ide-ide kebangkitan, kebutuhan untuk segera mereformasi umat, dan keharusan untuk menambah perbendaharaan pengetahuan. Saat itu ekses serangan Prancis masih terasa dan belum lewat satu setengah dekade ketika Muhammad Ali mengirim delegasi ilmiah ke Prancis untuk memelajari ilmu-ilmu modern, seperti kedokteran, teknik, administrasi, dan lain sebagainya. Muhammad Ali mengajukan permohonan pada al-Azhar untuk menunjuk imam yang nantinya mengimami anggota delegasi dalam salat dan membantu mereka dalam fatwa keagamaan. Syaikh Hasan al-Aththar menunjuk Rifa’ah al-Thahthawi sebagai imam yang sejak pertama kali tiba di Prancis, pada 1825 M., mengalami transformasi. Mula-mula Rifa’ah memelajari bahasa Prancis yang dia kuasai secara baca-tulis namun tidak secara percakapan. Di sana, dia memelajari setiap segi kehidupan Prancis dan menuliskannya dalam catatan harian, atas permintaan gurunya Hasan al-Aththar. Dikemudian hari kumpulan tulisan ini diterbitkan dengan judul Takhlish al-Ibriz fi Talkhish Bariz, setelah masa enam tahun di Prancis.
Lawatan yang dilakukan ini merupakan perjumpaan pertama antara peradaban Islam (di zaman) modern—dengan tradisi taqlidnya yang (nyaris) sepenuhnya—dan peradaban Barat modern dengan superioritas dan dinamikanya. Pada perjumpaan ini belum dijumpai pembicaraan tentang hal-hal yang layak diadopsi dari Barat dan mana yang tidak; apakah kita meninggalkan peradaban Barat sama sekali atau, sebaliknya, kita harus sepenuhnya meniru Barat jika ingin mencapai kemajuan yang dicapai Barat—perbincangan-perbincangan yang mewarnai generasi sesudah Rifa’ah, yang secara umum terbagi dalam dua kutub besar: konservatif dan pembaharu. Karena itu, respon dan sikap dari generasi pasca Rifa’ah—konservatif maupun pembaharu—terhadap Barat tidak bebas dari nilai-nilai yang diwarisi dari generasi sebelumnya.
Kunjungan Rifa’ah memiliki arti penting karena penulisan sejarah kebangkitan Muslimin awal pasca penjajahan mengandung banyak kesalahan yang berakibat pada kesalahan pahaman dalam memahami hakikat kebangkitan Islam. Sejarah masa-masa awal kebangkitan perlu ditulis kembali secara objektif tanpa melibatkan asumsi-asumsi yang tidak sesuai dengan fakta historis. Jamal Sulthan menyebutnya sebagai tribalisme pemikiran dalam studi kebangkitan modern. Fenomena ini tampak dalam kecenderungan masing-masing golongan untuk menyebut pelopor gerakan pembaharuan sebagai sealiran dengan kelompoknya. Kalangan sekular memandang ateisme lah yang berperan dalam pemikiran Arab modern. Para nasionalis Arab memandang bahwa para pembaharu mengumandangkan kebangkitan nasionalisme Arab. Kaum Marxis memandang mereka sebagai cikal bakal transformasi borjuis menuju sosialisme.
Sementara mayoritas kalangan Islamis menghindari perbincangan tentang pembaharuan tahap awal. Ada lagi yang mencukupkan diri dengan mendiskusikan tentang generasi pembaharu belakangan, khususnya generasi ketiga; tentang perdebatan antara Thaha Husayn, al-Aqqad, al-Rafi’i, Haykal, dan Farah Antoine. Hal ini menjauhkan dari pemahaman terhadap pokok permasalahan dan sumber kekacauan bangunan pemikiran umat Islam. Yang lebih berbahaya lagi, di kalangan aktivis Muslim, ada diantara mereka yang mengambil pendapat ”asing”—asing dalam hal kebangsaan atau pemikiran. Sehingga mereka memeroleh gambaran tentang masa kebangkitan Islam melalui kacamata sekularis, marxis, dan nasionalis, yang tentu saja membuat mereka mengambil sikap negatif terhadap era kebangkitan Islam awal dan simbol-simbolnya. Seringkali deskripsi yang diberikan oleh sekularis dan marxis memberi gambaran tidak islami yang menyebabkan tokoh-tokoh semacam Rifa’ah al-Thahthawi disalah pahami. Hal ini mengharuskan kita menulis kembali dan merekonstruksi sejarah kebangkitan Arab modern.
Sejak hari-hari pertama di Prancis, Rifa’ah percaya bahwa dari peradaban Eropa ada sesuatu yang harus ditransfer ke masyarakat Muslim. Ihwal inilah yang mendorongnya memelajari baca-tulis bahasa Prancis tanpa terlalu menguasai percakapan dalam bahasa tersebut, hal mana yang menunjukkan kesungguhannya dalam tulisannya yang dia pandang dinantikan oleh umat. Diakhir bukunya Takhlish al-Ibriz fi Talkhish Bariz, Rifa’ah menulis bahwa ”Prancis, tidak ragu lagi, benar-benar berperadaban” dan bahwa ””Yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak insyaf dan tidak berpengetahuan”. Setiap kali melihat ciri-ciri peradaban di Prancis dia merasa gelisah seraya menegaskan bahwa peradaban ini “Seharusnya peradaban semacam ini lebih pantas berada di dunia Islam dan negeri-negeri Syariat Nabi saw”. Kegelisahan al-Thahthawi ini begitu besarnya hingga dalam detail-detail kecil, seperti soal kebersihan, seperti tampak dalam ungkapannya ”Diantara ihwal yang baik dalam kepribadian orang Prancis adalah kecintaan pada kebersihan lahiriah, padahal kebersihan adalah bagian iman dan mereka sedikitpun tidak memiliki iman”.
Usai kembali dari Paris, Rifa’ah menegaskan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Muslim yang berperadaban hubungan masyarakat Muslim dan asing mesti ditingkatkan dan diperkuat. Dalam bukunya Manahij al-Albab al-Mishriyah fi Mabahij al-Adab al-’Ashriyah, dia menulis ”Sarana terutama menuju kemaslahatan umum adalah dengan melonggarkan interaksi dengan asing dan menganggap mereka sebagai penduduk lokal”. Ungkapan ini dan semacamnya yang banyak muncul dalam tulisan-tulisan Rifa’ah memberi gambaran pada kita tentang awal mula dualisme dalam pemikiran Islam dan—lebih jauh lagi—keterbelahan kepribadian pemikir Muslim.
Kesalahan dalam mengidentifikasi sebab-sebab kemajuan menyebabkan Rifa’ah keliru dalam memahami hakikat interaksi antara Eropa dan Islam. Hal ini terlihat ketika dia menulis ”Kerajaan yang lemah pada masa sekarang terjamin keberadaannya, selama tidak terganggu oleh kondisi politik dalam negeri yang menggangu konstitusi. Dengan demikian, pada masa sekarang, keunggulan kekuatan sebuah kerajaan tidak dapat membenarkan agresi atas kerajaan lain karena ada pakta pertahanan yang merupakan salah satu dari buah kemajuan modern dalam tata pemerintahan”. Untuk melihat kesalahan analisis yang dilakukan Rifa’ah kita cukup melihat jalannya sejarah usai tulisannya dipublikasikan, bahkan sebelum itu, yang penuh dengan suasana konflik dan benturan dalam hubungan internasional alih-alih idealisme yang digambarkannya. Kesalahan yang pada mulanya kecil ini (baca: analisis peradaban), yang menyertai perjumpaan awal Islam dan Barat, menjadi semakin membesar pada masa generasi berikutnya dan berpuncak pada loyalitas mutlak sebagian kecenderungan pemikiran Arab terhadap ”orang tua” peradabannya, Eropa.
Penting untuk dicatat, dalam konteks kebangkitan, bahwa penghilangan konsep benturan–atau sekurang-kurangnya konfrontasi–peradaban akan menyebabkan para pemikir hanya memiliki satu alternatif, cepat atau lambat, yaitu bahasa afirmasi dan mengikuti peradaban yang dominan. Hal ini bermula, secara bertahap, sejak Rifa’ah yang sekalipun memiliki pandangan kritis terhadap Eropa, tapi kritisisme ini berhenti pada ranah teoritis yang muncul dari identitas ilmiahnya sebagai cendekiawan al-Azhar yang berakar pada nilai-nilai otentik pemikirannya secara umum. Pada tataran praktis dan wilayah gerakan kebangkitan peradaban, Rifa’ah justru telah menanam mental latah yang timbul dari kecenderungan emosionalnya pada Eropa dan pada gilirannya menghilangkan sekat psikologis-historis untuk mendekatkan peradaban Islam dengan Eropa. Tujuan ini terlihat dalam usaha al-Thahthawi untuk mendekatkan pokok-pokok Islam dan Barat. Dia menulis ”Seseorang yang memelajari ushul fiqh dan memahami kandungannya akan merasa yakin bahwa semua penemuan rasional yang dicapai oleh peradaban umat manusia dan dijadikan dasar-dasar hukum mereka tidak banyak berbeda dari ushul fiqh yang merupakan pokok hukum-hukum fiqh. Apa yang kita namakan ushul fiqh menyerupai apa yang mereka namakan hak-hak alamiah atau hukum natural, yang merupakan kaidah akliah yang menjadi dasar hukum sipil mereka, … Kecintaan dan loyalitas terhadap agama yang dipegang teguh oleh umat Islam, yang membuat kaum Muslimin unggul atas umat lain, mereka namakan cinta tanah air”. Pernyataan semacam ini menyiratkan mobilisasi psikologis pada umat Islam untuk mengikuti konsep kebangsaan ala Eropa, karena secara tidak langsung dia ingin mengatakan bahwa peradaban Eropa tidak lain adalah bentuk baru dari sendi-sendi ajaran Islam.
Rifa’ah adalah tokoh al-Azhar pertama yang pertama kali menerjemahkan undang-undang Prancis untuk dikirim ke negara-negara Islam, sekalipun dia tidak setuju terhadap perundang-undangan tersebut. Dia menulis ”Saat ini di negara-negara Islam dewan perdagangan bercampur dengan dewan penyelesaian sengketa yang didasarkan atas perundangan Eropa. Padahal andaikata hukum fiqh diterapkan niscaya hal itu tidak mengurangi hak …”. Kegelisahannya membuat Rifa’ah menerjemahkan buku Monstequieu Spirit of the Law dan buku Ushul al-Huquq al-Thabi’iyah allati Ta’tabiruha al-Ifranj Ashlan li Ahkamihim, sekalipun pada akhirnya dia enggan untuk mencetak dan memublikasikannya di negara-negara Islam.
Skizofrenia peradaban dalam pembentukan manusia Arab modern dan kebingungan antara teori dan realita bisa kita lihat dari ungkapan kekecewaan teoritis al-Thahthawi terhadap mereka yang bertaklid pada orang asing dalam pakaian, dia menulis: ”Boleh jadi sebagian orang menduga bahwa berpakaian dengan baju negeri asing yang berperadaban termasuk hal yang baik, sehingga dia berusaha sebisa mungkin untuk tampil berbeda dengan kebanyakan orang tanpa alasan yang mengharuskan, padahal mengikuti tradisi sendiri sama sekali tidak mengurangi nilai seseorang”. Rifa’ah sendiri di akhir hayatnya mengganti pakaian tradisional ala al-Azhar dengan pakaian gaya Barat. Jalan yang ditempuhnya hanya memiliki satu alternatif; jika telah dimulai, ia akan berakhir dengan peniruan peradaban dan kesadaran. Pada tahap ini, sisa-sisa tradisi yang masih bertahan hanya akan membuat kegelisahan psikis dan kebingungan antara teori dan realitas.
Dewan pengawas pengiriman delegasi Mesir, Masiu Gumar, tepat sekali ketika menyampaikan pidato penutup di akhir perjalanan delegasi, seraya menampakkan kegembiraannya terhadap kesuksesan delegasi, dia berkata ”Yang kita nantikan adalah agar khayalan-khayalan timur (al-khurafat al-syarqiyyah) dapat segera terhapus dari akal mereka; agar lapisan tebal yang menutupi mata orang-orang timur dan mengikat mereka dengan kekanak-kanakan akan hilang perlahan-lahan”. Dan tepat sebagaimana yang dikatakannya, hilanglah, secara bertahap, orisinalitas pemikiran islami dari komponen generasi ini.
Dalam sebuah penelitian sistematis tentang asas kemajuan menurut pemikir-pemikir Islam di dunia Arab modern, Fahmi Jad’an menulis ”Sejak semula telah disepakati bahwa Islam sinonim dengan peradaban dan kemajuan, dan bahwa langkah-langkah menuju kemajuan tidak dapat dilakukan kecuali melalui nilai-nilai dasar Islam sendiri. Adagium ini disepakati pada masa terakhir kemunduran pertama daulah Utsmaniyah, pasca revolusi Utsmaniyah kedua, dan akhirnya pada tahun-tahun menjelang perang dunia pertama dan penghapusan khilafah.” Tulisan Fahmi Jad’an ini sangat tepat menggambarkan fakta. Generasi pada masa itu—dan sesudahnya—sedikitpun tidak berpikir bahwa Islam adalah penghalang kemajuan, atau sekurang-kurangnya tidak seorangpun berani menyatakan hal ini secara terang-terangan sekalipun dia memandang kelemahan umat Islam dan kerinduan luar biasa terhadap kemerdekaan dan kebangkitan. Persoalan mendasar yang menjadi pertanyaan saat itu adalah apa yang kita ambil dari Islam dan apa yang kita ambil dari peradaban Barat. Kesalahan dari pertanyaan ini adalah meletakkan Tradisi Islam dalam tingkatan yang sama dengan peradaban Eropa untuk diambil dan ditinggalkan bagian-bagian yang diperlukan. Dan tentu saja, elemen-elemen Islam yang ditinggalkan tidak disebut sebagai Islam dengan beralasan mendahulukan kemaslahatan atas teks; mendahulukan spirit syariah atas ketentuan-ketentuan partikular; bahwa sebuah hukum khusus untuk zaman Nabi saw. Pikiran semacam ini terus berlangsung dan dapat kita saksikan semenjak masa kebangkitan pertama hingga hari ini.
Dalam memoarnya, Rifa’ah menekankan bahwa ”Sudah pasti bahwa saya tidak menganggap baik kecuali sesuatu yang tidak bertentangan dengan teks syariah Muhammad”. Lebih jauh lagi dia berusaha menandaskan ketidak beradaban segala sesuatu yang bertentangan dengan syariah, dia menulis ”Segala hal yang dilarang oleh syariah, eksplisit atau implisit, adalah terlarang dan tidak termasuk peradaban. Tidak demikian halnya dengan hal-hal mubah jika akal berusaha mendapatkan yang lebih baik, maka hal ini adalah esensi dari peradaban.” Dari premis ini Rifa’ah menyimpulkan ”Tidak syak lagi bahwa risalah para Rasul dengan membawa syariah adalah sumber peradaban sejati yang harus dipertimbangkan; dan bahwa pokok-pokok hukum Islam lah yang menjadikan negeri-negeri di seluruh dunia berperadaban dan dengannya cahaya petunjuk bersinar di seluruh penjuru”. Pernyataan ini adalah pernyataan keimanan yang berurat akar dalam diri Rifa’ah sebagaimana hal itu juga berakar dalam diri Muslim pada umumnya. Hanya saja persoalannya bukan pada dimensi iman teoritis, ia ada dan bermula dari aspek metode dan penerapan. Generasi ini–dari sisi penerapan–tidak mampu menerjemahkan kaidah keimanana ke dalam program-program kebangkitan yang tepat dan orisinal, seringkali mereka menggunakan produk dari peradaban lain untuk menutupi kekurangan. Penegasan mereka bahwa bahwa produk asing yang digunakan bukan merupakan pokok dan yang utama hanyalah usaha untuk menenangkan diri mereka bahwa hal ini tidak keluar dari Islam, mereka berkata ”Kami menjadikan Islam sejalan dengan semangat modernitas” atau ”Kami membuktikan bahwa Islam sesuai untuk segala zaman dan tempat”.
Disamping usaha untuk membandingkan ushul fiqh dengan pokok-pokok perundangan Barat; dan konsep Umat dan konsep kenegaraan, kita dapat melihat hal lain yang dapat menjadi bukti cacat metode dan aplikasi yang dialami oleh al-Thahthawi dan generasinya. Al-Thahthawi menulis buku Manahij al-Albab al-Mishriyah fi Mabahij al-Adab al-Ashriyah sebagai pencerahan untuk mendorong kebangkitan umat. Dalam mengelaborasi metode yang digunakan untuk modernisasi, dia menulis ”Saya ambil isi buku ini dari buku-buku berbahasan Arab dan karangan-karangan berbahasa Prancis serta ide yang muncul yang saya anggap sesuai. Saya juga mengukuhkannya dengan ayat-ayat al-Quran, Hadits Nabi saw dan dalil-dali penjelas”. Dalam komposisi metode diatas, dia menjadikan karangan-karangan berbahasa Prancis sebelum al-Quran dan al-Sunnah. Bukan hanya itu saja, bahkan keduanya tidak berperan dalam pembentukan konsep-konsep orisinal. Peran keduanya hanya ”mengukuhkan” saja terhadap pemikiran-pemikiran yang disarikan dari buku berbahasa Prancis dan lainnya.
Inilah yang kesalahan mendasar yang terjadi pada masa itu, yaitu memilah dan memilih nilai-nilai Islam yang sesuai dengan pikiran-pikiran yang ditransfer. Dengan ini kita bisa memahami lebih baik sikap semisal Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) yang sebagian fatwanya mencirikan semacam ”kristenisasi” realitas masyarakat Islam, seperti dalam pembatasan talak, pembatasan poligami, dan problem-problem kemasyarakatan. Kita seharusnya memahami karakteristik daripada kekurangan masa kebangkitan ini. Kekurangan ini tidak berasal dari kurangnya agama (keimanan), karena mereka adalah kaum beriman yang bahkan terkadang sangat fanatik pada Islam. Cacat itu muncul dari taqlid peradaban yang terkait dengan definisi Islam dan pembaharuan pemikiran keagamaan dan dari usaha untuk meneguhkan bahwa Islam sesuai untuk setiap masa dan tempat yang secara ilmiah kemudian bermakna bahwa Islam sesuai dengan—dan tunduk terhadap—setiap masa dan tempat. Dalam catatannya dia mencatat pandangannya terhadap Prancis bahwa ia adalah ”Negeri-negeri kufur dan penentang”. Dia juga menyusun puisi yang mencerminkan keimanan yang mendalam dan kebencian yang kuat terhadap kesesatan dan kekufuran Eropa, seperti dalam puisi berikut ini:
Andaikata aku menalak tiga Paris hal ini tidak lain hanya untuk bertemu Mesir
Keduanya bagiku adalah pengantin wanita hanya saja Mesir bukan anak kekufuran
dan puisinya yang lain:
Adakah negeri lain seperti Paris? matahari ilmu tak pernah terbenam di dalamnya
sedangkan gelapnya kufur takkan ada pagi menjelang hei! ingatlah ini sungguh aneh
Disamping itu dia juga punya catatan tersendiri atas kesesatan filsafat Prancis seperti tulisannya ”Hanya saja dalam ilmu hikmah, ajaran mereka (orang Prancis) mengandung kesesatan-kesesatan yang bertentangan dengan semua kitab samawi dan mereka berargumen dengan bukti-bukti yang sulit dibantah orang awam”. Karenanya al-Thahthawi mengingatkan bahwa ”Orang yang hendak belajar bahasa Prancis yang mengandung hal-hal filosofis haruslah mendalam dalam al-Quran dan al-Sunnah agar supaya dia tidak terbujuk oleh buku-buku itu dan akidahnya menjadi lemah”. Disini, dia berbicara sebagai ulama al-Azhar yang mendalam keimanannya, sangat menjaga agama dari syubhat dan kebatilan, sangat perhatian terhadap keselamatan iman umat. Akan tetapi dari sisi metode penerapan, dia memilih pendekatan untuk menguatkan hubungan pemikiran, nilai, dan perundangan antara Prancis dan Mesir; antara atmosfer yang penuh kekufuran dengan akal Islam yang sedang bangkit. Ketika sistem nilai umat telah terkotori dan rajutan syariah terurai maka kita telah memisahkan agama dari realitas sosial, yang pada akhirnya akan berujung pada benturan antara nilai keagamaan yang tersisa dan masyarakat modern yang dibangun atas dasar perundangan yang tidak berasal dari agama ini. Apalagi pemisahan realitas sosial dari agama yang agama melemahkannya, menafikan peran positif dan efektifitasnya dalam kenyataan akan menyebabkan agama kehilangan peran dan dan menjadi lemah dalam kehidupan nyata, sebagaimana yang kita saksikan sendiri di banyak tempat dari negeri-negeri Islam.
Kepapaan terhadap metode penerapan yang mengaitkan dimensi iman dan dimensi peradaban menyebabkan kesalah pahaman banyak peneliti yang memelajari Rifa’ah. Diantara mereka ada yang menyebutnya sebagai orang yang ”lemah iman”, yang lain menyebutnya secara berlebihan sebagai ”reaksioner” sampai ”rasionalis modern”. Seperti Muhammad Imarah ketika memberikan pendahuluan terhadap kumpulan tulisan Rifa’ah, dengan yakin dia menulis ”Karena mengagungkan pada peradaban Eropa dan hasil pemikirannya, dan percaya pada nilai-nilainya, al-Thahthawi memandang kesalahan pandangan lama yang mendominasi abad pertengahan dimana manusia dibagi menjadi kaum beriman dan kaum kafir”. Penilaian ini, tak syak lagi, banyak mengandung kedangkalan, karena ungkapan al-Thahthawi dalam buku Takhlish al-Ibriz sangat jelas mengatakan bahwa Prancis adalah negeri kufur. Kesalahan ‘Imarah berasal dari tidak dibedakannya antara dimensi keimanan dan dimensi peradaban dalam pemikiran al-Thahthawi, atau dengan kata lain, lemahnya pemahaman ‘Imarah terhadap skizofrenia peradaban yang dialami oleh Rifa’ah dan generasinya.
Dapat disimpulkan bahwa krisis yang dialami Rifa’ah adalah bahwa dia menjauh secara iman dari Prancis, namun mendekat—sampai tingkat ikut-ikutan—secara peradaban darinya. Dia telah gagal dalam mencetuskan pemikiran Islam yang orisinal dari metode baru untuk kebangkitan yang dapat menjawab tantangan superioritas Eropa. Disamping itu dia juga terjatuh dalam jebakan pemilahan pemikiran Islam yang sesuai dengan pemikiran Eropa modern. Ekses dari hal ini masih terasa hingga kini dibanyak sektor pemikiran Islam modern.
***
Apa yang bisa kita baca dari wacana diatas adalah bahwa ketidaksadaran peradaban akan membuat seseorang mengikuti peradaban lain seraya merasa bahwa dirinya tetap setia terhadap tradisinya dengan cara ekletisisme dan pemilah-milihan terhadap unsur tradisi yang sejalan dan sesuai dengan semangat zaman (baca: menundukkannya pada tuntutan zaman). Jadi, disini yang jadi ukuran adalah kemajuan zaman, sementara tradisi (termasuk tradisi keagamaan) adalah objek dari penyesuaian yang distandarisasi dengan kemajuan zaman.
Hal lain yang bisa kita catat dari kisah hidup Rifa’ah al-Thahthawi, sebagai orang pertama yang secara langsung bertemu secara pemikiran dengan peradaban Barat modern, adalah ”kekagetan budaya dan peradaban” yang hampir selalu dialami oleh mereka yang datang, berkunjung, atau tinggal di wilayah yang dianggap—atau memang—lebih superior daripada tempat asal mereka. Simptom yang hampir selalu muncul ialah hasrat untuk mengikuti peradaban tersebut dalam setiap aspeknya, termasuk dalam hal yang sebenarnya tidak esensial. Karena hal itu dijadikan sebagai alat identifikasi superioritas dan kemajuan seseorang atau sebuah kebudayaan.
Untuk menyikapi hal ini, saya kira, kita perlu menyikapi setiap perjumpaan kita dengan budaya dan peradaban baru yang kita jumpai (tidak harus Barat) dengan sikap biasa-biasa saja dan ojo gumunan. Seperti ketika seseorang yang sejak semula hidup dan dididik dalam lingkungan pesantren tiba-tiba harus hidup di dunia ”luar”, salah satu yang mungkin terjadi adalah usaha untuk mengidentifikasi dirinya dengan lingkungan sekitarnya yang—boleh jadi—”gaul”, permisif, dan tidak berjiwa santri. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua diluar tradisi dan peradaban kita adalah jelek dan tercela, tapi tanpa kewajaran dalam menyikapi hal baru yang dianggap lebih superior, kita menjadi rentan terjangkit virus ikut-ikutan yang tidak perlu dan kehilangan identitas. Harus selalu ada proses seleksi dalam setiap perjumpaan peradaban dan budaya, tanpa itu kita sekedar ikut-ikutan saja. Apalagi dalam tradisi keagamaan kita. WaLlahu Ta‘ala a‘lam.