Sabtu, 19 Februari 2011

Filsafat Dalan Ilmu Komunikasi


Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dewasa ini bahkan ketergantungan manusia pada media massa sudah sedemikian besar. Media komunikasi massa abad ini yang tengah digandrungi masyarakat adalah televisi. Joseph Straubhaar & Robert La Rose dalam bukunya Media Now, menyatakan; the Avarege Person spend 2600 Hours per years watcing TV or listening to radio. That,s 325 eight-hourdays, a full time job. We spend another 900 hours with other media, including, newpaper, books, magazines, music, film, home video, video games and the internet, that about hours of media use – more time than we spend on anything else, including working or sleeping (straubhaar & La Rose, 2004 : 3)

Di Indonesia berdasarkan survey Ac Nielsen di tahun 1999 bahwa 61% sampai 91% masyarakat Indonesia suka menonton televisi, hasil ini lebih lanjut dijelaskan bahwa “hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton televisi setiap hari dari 4 dari 10 orang mendengarkan radio” ( Media Indonesia, 16- Nopember 1999). Hal ini menunjukkan bahwa menonton televisi merupakan “aktivitas” utama masyarakat yang seakan tak bisa ditinggalkan. Realitas ini sebuah bukti bahwa televisi mempunyai kekuatan menghipnotis pemirsa, sehingga seolah-olah televisi telah mengalienasi seseorang dalam agenda settingnya.

Perkembangan pertelevisian di Indonesia dua tahun terakhir ini memang amat menarik, televisi-televisi swasta bermunculan melengkapi dan memperkaya TV yang sudah ada. Tercatat lebih dari 17 TV yang ada di Indonesia adalah TVRI, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV, Indosiar, Trans-TV, Lativi, TV-7, TV Global, dan Metro TV ditambah TV-TV lokal seperti Bandung TV, STV, Padjadjaran TV dan sebagainya. Fenomena ini tentu saja menggembirakan karena idealnya masyarakat Indonesia memiliki banyak alternatif dalam memilih suguhan acara televisi.

Namun realitasnya, yang terjadi adalah stasiun-stasiun TV di Indonesia terjebak pada selera pasar karena tema acara yang disajikan hampir semua saluran TV tidak lagi beragam tetapi seragam di mana informasi yang sampai kepada publik hanya itu-itu saja tidak menyediakan banyak alternatif pilihan. Beberapa format acara TV yang sukses  di satu stasiun TV acapkali diikuti oleh TV-TV lainnya, hal ini terjadi hampir pada seluruh format acara TV baik itu berita kriminal dan bedah kasus, tayangan misteri, dangdut,  film india, telenovela, serial drama Asia, Infotainment, dan lain-lain.
_______________
*) Dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Media watch mencatat bahwa selama ini atas nama mekanisme pasar, pilihan format isi pertelevisian tak pernah lepas dari pertimbangan ”tuntunan khalayak” menurut  perspektif pengelola. Berbagai program acara dibuat hanya untuk melayani kelompok budaya mayoritas yang potensial menguntungkan, sementara kelompok minoritas tersisihkan dari dunia simbolik televisi.

Ukuran televisi hanya dilihat berdasarkan rating tidak memperhatikan faktor fungsional, akibatnya ada kelompok masyarakat yang dapat menikmati berbagai stasiun TV karena berada di wilayah yang berpotensi, tapi ada masyarakat yang tak terlayani sama sekali atau menangkap acara televisi namun isinya secara kultural tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Keadaan ini sebelumnya terjadi juga pada negara adi kuasa seperti Amerika Serikat penelitian di negara ini menunjukkan bahwa surat kabar dan televisi mengarahkan sasaran liputan mereka terutama pada kelompok elite dan tak memperdulikan sebagian besar warga (Kovach, 2003:66) dalam pemenuhan fungsi informasi dan hiburan belakangan ini, TV-TV gencar menayangkan berita-berita yang disebut dengan infotainment. Kehadiran infotainment amat mewarnai program-program acara di televisi bahkan menempati posisi rating tertinggi yang berarti acara-acara model seperti ini amat digemari oleh masyarakat. Pengiklan pun tak urung berbondong—bondong memasang iklan pada setiap tayangannya tentu saja semakin mamacu pengelola media untuk berloma-lomba membuat heboh acara infotainment yang dikemasnya.

Dipelopori oleh tayangan kabar-kabari lima tahun silam di RCTI, saat ini tidak kurang dari 50 judul acara serupa muncul menyebar di semua stasiun TV termasuk TVRI bahkan Metro TV. Semua format yang tampil mengatasnamakan infotainment sebagai penggabungan dari kata ”Information’ dan Entertainment’ (Informasi dan Hiburan) wujudnya merupakan paket tayangan informasi yang dikemas dalam bentuk hiburan & informasi yang menghibur.

Jika kita cermati tampaknya tayangan-tayangan infotainment yang mengklaim sebagai sebuah produk jurnalisme seringkali berorientasi bukan pada efek yang  timbul dalam masyarakat tetapi produk komersial tersebut apakah mampu terjual dan mempunyai nilai ekonomis atau tidak, sehingga tidak memperhatikan apa manfaatnya bagi pemirsa ketika menginformasikan adegan ”syur” Mayangsari – Bambang Soeharto, exploitasi kawin cerai para selebritis, konflik, gaya hidup, serta kebohongan publik yang kerap digembar-gemborkan oleh kalangan selebritis.

Fenomena ini menandakan satu permasalahan di dalam kehidupan nilai-nilai ”filosofis” televisi di Indonesia. Televisi Indonesia semakin hari semakin memperlihatkan kecenderungan mencampuradukan berita dan hiburan melalui format tayangan ”infotainment”. Kebergunaan berita menjadi berkurang bahkan menyimpang. Hal ini disebabkan di antaranya oleh tekanan pasar yang makin meningkat.

1.  Kerangka Teoritis
Louis O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan  bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.

Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh  dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.

Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut  Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.

Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.

2.  Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.

3.  Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”

Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman  Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)

4.  Kajian pada aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.

Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen., Kenneth E., 1972, Introduction to Communication Theory and Practice, Philippines: Cumming Publ Company.
Anshari., Endang Saefuddin, 1991. Ilmu Filsafat dan Agama,   PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Asante., Molefi Kete, 1989, Handbook of International and Intercultural Communication, California: sage Publ Inc.
Bagus., Lorens, 1991, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Berger., Charles R., 1987, Handbook of Communication Science, California: Sage publ Inc.
Cobley., Paul, 1996, The Communication Theory Reader, London: Routledge.
DeFleur., Melvin L., 1985, Understanding Mass Communication, Boston: Houghton Mifflin Company.
Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,  Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fisher., B. Aubrey, 1987, Interpersonal Communication: Pragmatics of Human Relation 2 nd ed., McGraw-Hill
Little John., Stephen W., 1996, Theories of Human Communication, Ohio: Charles E. Merril Company
Muhadjir., Noeng, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,  Rake Sarasin, Yogyakarta

Mulyana., Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya,  PT. Rosdakarya, Bandung
Mulyana., Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,  PT. Rosdakarya, Bandung
Poerwadarminta., W.J.S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  PN. Balai Pustaka, Jakarta
Susanto., Astrid S, 1976, Filsafat Komunikasi,  Penerbit Binacipta, Bandung.
Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Penerbit Sinar Harapan, Jakarta
Syam., Nina Winangsih, Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan Dalam Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada tanggal 11 September 2002

Definisi Ilmu

Definisi ilmu 
adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam).

Mohammad Hatta

Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan.
Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."

--Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran--

Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya.

Sifat-sifat ilmu

Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
  1. Berdiri secara satu kesatuan,
  2. Tersusun secara sistematis,
  3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
  4. Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
  5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
  6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
  7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.

Mengapa ilmu hadir?

Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?

Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?

Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia

Pengertian Ilmu Komunikasi

Jumat, 18 Februari 2011

Perbedaan Sastra dan filsafat

Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat, betapapun penekanannya pada usaha unutuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Jika demikian apakah apakah kemudian itu berarti karya sastra identik dengan filsafat? Tentu saja tidak. Mengapa tidak? Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.
Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.
* * *
Masalah hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya bukanlah masalah baru. Sejak manusia mengenal cerita-cerita mitologis, sejak iu pula sesungguhnya hubungan sastra dengan filsafat — dalam pengertian yang lebih luas — sulit dipisahkan. Apakah cerita klasik macam Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Ilias dari Homerus, kisah Dewi Matahari Jepang. Ameterasu, karya sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam bentuk karya sastra, atau karya sastra yang berisi ajaran-ajaran filsafat?
Dalam khazanah sastra Indonesia, meski karya-karyanya belum dapat disejajar-kan dengan mitologi-mitologi tersebut, nama-nama Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin As-Samatrani, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji atau Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang), dikenal sebagai tokoh sufi yang ajaran tasawufnya (:filsafat) disampaikan le-wat puisi-puisi atau cerita-cerita simbolik. Munculnya istilah sastra sufi beberapa wak-tu lalu, juga sebenarnya bersumber dan mengacu pada karya-karya tokoh tasawuf itu.
Jika kita menarik karya-karya mereka jauh ke belakang, maka kita juga akan menemukan begitu banyak ajaran tasawuf (:filsafat islam) yang justru disampaikan dalam bentuk karya sastra. Sebut saja misalnya, karya Rabiah al-Adawiyah, penyair sufi wanita yang konon wafat tahun 752 (?), Al-Hallaj (828-921), Fariduddin Attar (1117-1234), Ibn Thufail (1106-1185) atau Sa’di Jalaluddin Rumi (1207-1270).
Di dunia Barat, juga sudah sejak lama mitologi Yunani klasik menjadi sumber ilham yang tak ternah habis-habisnya digali, baik untuk bidang filsafat, maupun sastra. Bahkan hingga kini tidak sedikit sastrawan di sana yang memuat semacam karya transformasi yang bersumber dari mitologi Yunani itu. Dalam perkembangannya kemudian, sejalan dengan munculnya berbagai macam aliran filsafat (Barat), muncul pula sejumlah filsuf yang menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.
Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya karya-karya Vol-taire (1694-1778). Lewat novel-novelnya, L’Ingenu (Si Lugu), Candide, dan Zadig, Voltaire secara satiris hendak mengejek filsafat Leibniz (1646-1716), terutama yang menyangkut filsafat deisme. Begitu pula Friedrich Nietzsche (1844-1900) lewat The Spoke Zarathustra-nya, menampilkan tokoh Zarathustra sebagai simbol manusia ung-gul (uebermensch) yang dicita-citakan Nietzsche agar memperoleh kebebasan mutlak. Dalam dunia filsafat, ia dipandang sebagai filsuf eksistensialisme yang paling radikal.
Tokoh lain yang dianggap sebagai penganjur filsafat eksistensialisme yang juga menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra, antara lain Albert Camus (1913-1960) dan Jean Paul Sartre (1905-1980). Gagasan filsafat eksistensialisme yang disam-paikan Sartre terdapat pada karya-karya pentingnya yang berupa novel, antara lain, La Nausee (Rasa Muak) dan Les Chemins de la Liberte (Jalan-jalan Kebebasan), serta karya drama Les Mouches (Lalat-lalat) dan Huis Clos (Pintu-pintu tertutup).
Hal yang sama juga dilakukan Albert Camus. Betapapun Camus sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan daripada filsuf, lewat La Peste (Sampar) dan L’Etranger (Orang Asing), ia juga bermaksud mempertegas gambaran dirinya sebagai sosok eksistensialis dalam berhadapan dengan kehidupan yang absurd.
Dalam filsafat islam, di samping tokoh-tokoh yang disebut terdahulu, Mohammad Iqbal (1873-1938) juga dikenal sebagai tokoh pemikir (:filsuf) Islam yang salah satu karya filsafatnya ditulis dalam bentuk puisi. Melalui puisi-puisi Parsi-nya yang panjang, sebagaimana yang tertuang dalam magnum opus-nya yang monumental, Javid Namah, Iqbal menyampaikan kritik pedasnya terhadap filsafat Barat dan pemi-kiran Islam tradisional. Di samping itu juga, ia juga menekankan pentingnya progresi-vitas dalam sikap dan pemikiran generasi muda Islam. Dalam hal itulah, pengembaraan rasio untuk memperkukuh keimanan Islami, mutlak ditumbuhkembangkan.
Tentulah kita masih dapat menyebut sejumlah karya sastra lainnya yang secara tematik memperlihatkan gagasan filsafat tertentu yang dianut atau yang sengaja diso-dorkan pengarangnya. Hal tersebut tidak hanya mempertegas, betapa sastra dan filsafat begitu erat hubungannya, tetapi juga tidak sedikit filsuf yang secara sadar menyam-paikan gagasan filsafatnya dengan mengemasnya ke dalam bentuk karya sastra.
Sungguhpun demikian, harus diakui pula, bahwa di antara karya-karya sastra yang sejenis itu, ada yang cenderung lebih berat ke filsafat daripada ke karya sastranya, atau sebaliknya, atau juga kedua-duanya. Karya-karya Camus, Sartre atau Iqbal, dapatlah kita masukkan karya sastra yang sarat bermuatan gagasan filsafat. Dalam kesusastraan Indonesia modern, karya yang semacam ini kita temukan pada novel-novel Iwan Simatupang (Ziarah), Danarto (Godlob), Sutan Takdir Alisjahbana (Grotta Azzura), Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit).
Dalam konteks itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang dibungkus ke dalam kemasan sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya sastra. Artinya, bahwa karya itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi kesastraannya. Gagasan filsafat yang terkandung dalam karya itu seyogianya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur kesastraan lainnya. Dengan demikian, gagasan filsafat itu akan lebur menjadi salah satu unsur yang justru ikut membangun nilai-nilai estetika karya bersangkutan.
Kecenderungan sastrawan yang terbawa oleh hasrat besarnya untuk berfilsafat dan mengabaikan nilai estetika kesastraan, akan tergelincir jatuh pada karya yang lebih dekat ke karya filsafat daripada ke karya sastra. Akibatnya, karya itu akan kehilangan daya tarik dan gregetnya sebagai karya sastra, karena ia lebih mementingkan gagasan filsafatnya daripada nilai estetiknya. Karya Sutan Takdir Alisjahbana, Grotta Azzura, misalnya, merupakan contoh betapa karya itu menjadi kurang menarik karena Alisjhbana lebih menekankan dialog-dialog panjang mengenai filsafat daripada kepaduan unsur-unsur novel itu sebagai kesatuan estetik. Dengan demikian karya itu — boleh jadi — lebih tepat ditempatkan sebagai karya filsafat daripada karya sastra.

Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra — yang bermutu — akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafat-nya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandung-nya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan

unsur - unsur komunikasi dan berkomunikasi yang efektif


Komunikasi merupakan terjemahan kata communication yang berarti perhubungan atau perkabaran. Communicate berarti memberitahukan atau berhubungan. Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio dengan kata dasar communis yang berarti sama. Secara terminologis, komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak ke  pihak lain dengan menggunakan suatu media. Sebagai makhluk sosial manusia sering berkomunikasi satu sama lain, oleh karena itu dibutuhkan keefektifan dalam berkomunikasi agar suatu pesan dapat tersampaikan dengan baik tanpa terjadi salah persepsi.
undefined

Untuk dapat berkomunikasi secara efektif kita perlu memahami unsur-unsur komunikasi, antara lain:

1.     Komunikator.
Pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam komunikasi, karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi
2.     Komunikan.
Penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator, kemudian memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon.
3.     Media.
Saluran (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain sebagainya.
4.     Pesan.
Isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi.

5.     Tanggapan.
Merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan. Diimplentasikan dalam bentuk umpan balik (feed back) atau tindakan sesuai dengan pesan yang diterima.

Komunikasi Efektif adalah Komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang yg terlibat dalam komunikasi. Komunikasi efektif tejadi apabila suatu pesan yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi. Karena itu, dalam berkomunikasi, khususnya  komunikasi verbal  dalam forum formal,  diperlukan langkah-langkah yang tepat. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1.     Memahami maksud dan tujuan berkomunikasi.
2.     Mengenali komunikan (audience).
3.     Berorientasi pada tema komunikasi.
4.     Menyampaikan pesan dengan jelas.
5.     Menggunakan alat bantu yang sesuai.
6.     Menjadi pendengar yang baik.
7.     Memusatkan perhatian.
8.     Menghindari terjadinya gangguan.
9.     Membuat suasana menyenangkan.
10. Memanfaatkan bahasa tubuh dengan benar.
sumber www.immasjid.com/dl_jump.php?id=83
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi 
  • Komunikasi Efektif  By : Lastry. P, SST 

Perbedaan Antara Sastra Baru Dengan Sastra Lama

Pengertian Sastra



Perkataan sastra itu berasal dari bahasa Sansekerta Susastera. Su berarti baik atau bagus. Sastra berarti buku tulisan atau huruf. Jadi kesussasteraan itu berarti himpunan buku-buku yang mempunyai bahasa yang indah serta isi yang baik pula (Amabrya, 1983 : 7)

Dalam kaitannya dengan sastra, pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Seorang pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile, dalam tulisannya berjudul ars Poetica. Artinya, sastra mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, misalnya, karya sastra menjadi saran untuk menyampaiakn pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. (Budianta, 2002 : 19)

Selasa, 15 Februari 2011

Teologi Islam


Sepanjang beberapa abad umat manusia telah menyaksikan pasang surut peradaban. Sejarah menunjukkan tidak ada satu pun dari peradaban yang mencapai kejayaan itu bertahan hingga kini. Semua peradaban tersebut mengalami kejatuhan pasca kejayaannya. Tampaknya Heraclitos—Filosof Yunani di masa klasik—benar, bahwa tidak ada yang abadi, semuanya mengalami perubahan, dan yang abadi hanya perubahan itu sendiri.

Namun perubahan itu tidak semata-mata takdir yang tidak bisa dipahami polanya. Dengan kata lain, perubahan dari kejayaan kepada kehancuran memiliki pola yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, dengan mengacu kepada pola-pola umum tersebut kejayaan bisa diatur, dikontrol, dan diprediksi. Meskipun hukum perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi, namun perubahan tersebut sebenarnya bisa diarahkan lebih baik.

Dasar Kepercayaan
Pada dasarnya, bangsa-bangsa yang peradabannya pernah mencapai kemajuan tidak bisa dilepas dari apa yang mereka percayai. Kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat transenden—sedikit ataupun banyak—telah memberi inspirasi dan dorongan untuk berkreasi. Begitupula kehancuran sebuah peradaban, kepercayaan yang despotik berpengaruh terhadap kehancurannya. Kejayaan bangsa Yunani mengalami titik balik akibat kepercayaannya yang despotik, dengan membagi masyarakat secara hirarkis. Berlandas pada kepercayaan adanya sekelompok manusia yang diciptakan oleh Dewa (Tuhan) sebagai mahluk mulia, sedangkan sebagian yang lain sebagai pelayannya. Dalam masyarakat Yunani kemuliaan manusia ditentukan oleh faktor keturunan, sehingga seorang bangsawan akan senantiasa melahirkan orang-orang mulia, sementara seorang budak akan melahirkan generasi budak dan pekerja kasar. Tidak jauh berbeda dengan itu, peradaban Mesir kuno pun mengalami titik balik akibat kepercayaan yang despotik. Perbudakan manusia menjadi salah satu faktor kehancuran peradaban. Dalam konteks seperti itu kita dapat memahami mengapa Nabi dan Rasul diutus ke sebuah masyarakat. Para Nabi dan Rasul itu memperbaiki kondisi masyarakat dengan pendekatan agama. Mereka menawarkan konsep tauhid, konsep kepercayaan yang mengkritisi despotisme religius.

Korelasi antara sistem kepercayaan—atau bisa kita sebut teologi—dan peradaban juga bisa dilihat dalam peradaban Islam. Kemajuan umat Islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan dukungan teologi Islam. Hal ini bisa ditelusuri dengan melihat dan membandingkan perkembangan peradaban masyarakat Arab pada umumnya sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Teologi Islam memberikan pengaruh signifikan dalam menanamkan kecintaan dan keberanian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Meski ilmu pengetahuan yang dikembangkan itu banyak diadopsi dari peradaban bangsa lain seperti Yunani, Persia, China, dan seterusnya, namun sejarah membuktikan bahwa keberhasilan umat Islam dalam mengembangkannya tidak bisa dilakukan oleh bangsa lain—dengan teologi lain pula tentunya.

Umat Yahudi—yang keberadaannya jauh lebih lama dari Islam—misalnya, telah berinteraksi cukup lama dengan ilmu pengetahuan dari peradaban yang sudah maju saat itu, namun mereka memerlukan waktu ribuan tahun untuk bisa “bersahabat” dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Itu justru atas bimbingan umat Islam di masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah (abad ke-7 hingga 13 M). Begitu pula umat Kristen, di awal pertumbuhannya justru umat Kristen memusuhi ilmu pengetahuan, lantaran ilmu pengetahuan banyak dikembangkan oleh penganut paganisme. Bahkan di Iskandariyah umat Kristen membunuh seorang ilmuwan perempuan dan membakar habis buku-buku di perpustakaan besar Iskandariyah. Padahal buku-buku tersebut bernilai penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesudahnya. Semua itu menunjukkan bahwa teologi Yahudi dan Kristen tidak mampu menginspirasi—apalagi mendorong—kemajuan sebuah peradaban.

Berbenturan
Sebetulnya sejarah Islam juga tidak sepi dari benturan antara agama di satu sisi dengan ilmu pengetahuan di sisi lain. Namun benturan itu lebih disebabkan oleh kesalah-pahaman dalam memahami kandungan kitab Al-Quran. Benturan yang dapat kita telusuri—terutama—adalah kritik Imam al-Ghazali terhadap hukum keteraturan dan kausalitas dalam alam. Dalam bukunya “Tahaafut al-Falaasifah”, al-Ghazali menolak pola kausalitas, sebab menafikan peran Tuhan dalam peristiwa alam. Dalam pandangan banyak pengamat keislaman, pandangan al-Ghazali yang sangat berpengaruh luas terhadap umat Islam itu berdampak pada pengabaian—jika bukan penolakan—terhadap tradisi penelitian yang selama beberapa abad telah menjadi etos keilmuan umat Islam.

Namun meskipun benturan itu terjadi—dan berdampak pada surutnya tradisi keilmuan di dunia Islam—tidak serta merta menunjukkan kegagalan teologi Islam dalam menopang peradabannya. Hal itu lebih disebabkan oleh kekeliruan umat Islam dalam memahami kekuasaan Tuhan dalam berhadapan dengan fenomena alam dan sosial. Oleh karena itu, perkembangan peradaban Islam bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan itu tergantung pada sejauhmana konsep tauhid dan kekuasaan Tuhan dimaknai secara selaras dengan anjuran ber-tafakkur dan tadabbur. Kedua istilah tersebut sebenarnya sangat menekankan pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal mana saat ini menjadi etos keilmuan dalam masyarakat Barat. Karena itu tidak salah jika Muhammad Abduh mengatakan bahwa ia melihat Islam di Eropa tanpa umatnya, dan melihat Islam di Mesir tanpa Islamnya. Oleh sebab itu, sepanjang umat Islam belum kembali kepada teologi Islam yang selaras dengan Al-Quran, maka dunia Islam akan mengalami stagnasi selama hayatnya.

Sepanjang beberapa abad umat manusia telah menyaksikan pasang surut peradaban. Sejarah menunjukkan tidak ada satu pun dari peradaban yang mencapai kejayaan itu bertahan hingga kini. Semua peradaban tersebut mengalami kejatuhan pasca kejayaannya. Tampaknya Heraclitos—Filosof Yunani di masa klasik—benar, bahwa tidak ada yang abadi, semuanya mengalami perubahan, dan yang abadi hanya perubahan itu sendiri.

Namun perubahan itu tidak semata-mata takdir yang tidak bisa dipahami polanya. Dengan kata lain, perubahan dari kejayaan kepada kehancuran memiliki pola yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, dengan mengacu kepada pola-pola umum tersebut kejayaan bisa diatur, dikontrol, dan diprediksi. Meskipun hukum perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi, namun perubahan tersebut sebenarnya bisa diarahkan lebih baik.

Dasar Kepercayaan
Pada dasarnya, bangsa-bangsa yang peradabannya pernah mencapai kemajuan tidak bisa dilepas dari apa yang mereka percayai. Kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat transenden—sedikit ataupun banyak—telah memberi inspirasi dan dorongan untuk berkreasi. Begitupula kehancuran sebuah peradaban, kepercayaan yang despotik berpengaruh terhadap kehancurannya. Kejayaan bangsa Yunani mengalami titik balik akibat kepercayaannya yang despotik, dengan membagi masyarakat secara hirarkis. Berlandas pada kepercayaan adanya sekelompok manusia yang diciptakan oleh Dewa (Tuhan) sebagai mahluk mulia, sedangkan sebagian yang lain sebagai pelayannya. Dalam masyarakat Yunani kemuliaan manusia ditentukan oleh faktor keturunan, sehingga seorang bangsawan akan senantiasa melahirkan orang-orang mulia, sementara seorang budak akan melahirkan generasi budak dan pekerja kasar. Tidak jauh berbeda dengan itu, peradaban Mesir kuno pun mengalami titik balik akibat kepercayaan yang despotik. Perbudakan manusia menjadi salah satu faktor kehancuran peradaban. Dalam konteks seperti itu kita dapat memahami mengapa Nabi dan Rasul diutus ke sebuah masyarakat. Para Nabi dan Rasul itu memperbaiki kondisi masyarakat dengan pendekatan agama. Mereka menawarkan konsep tauhid, konsep kepercayaan yang mengkritisi despotisme religius.

Korelasi antara sistem kepercayaan—atau bisa kita sebut teologi—dan peradaban juga bisa dilihat dalam peradaban Islam. Kemajuan umat Islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan dukungan teologi Islam. Hal ini bisa ditelusuri dengan melihat dan membandingkan perkembangan peradaban masyarakat Arab pada umumnya sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Teologi Islam memberikan pengaruh signifikan dalam menanamkan kecintaan dan keberanian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Meski ilmu pengetahuan yang dikembangkan itu banyak diadopsi dari peradaban bangsa lain seperti Yunani, Persia, China, dan seterusnya, namun sejarah membuktikan bahwa keberhasilan umat Islam dalam mengembangkannya tidak bisa dilakukan oleh bangsa lain—dengan teologi lain pula tentunya.

Umat Yahudi—yang keberadaannya jauh lebih lama dari Islam—misalnya, telah berinteraksi cukup lama dengan ilmu pengetahuan dari peradaban yang sudah maju saat itu, namun mereka memerlukan waktu ribuan tahun untuk bisa “bersahabat” dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Itu justru atas bimbingan umat Islam di masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah (abad ke-7 hingga 13 M). Begitu pula umat Kristen, di awal pertumbuhannya justru umat Kristen memusuhi ilmu pengetahuan, lantaran ilmu pengetahuan banyak dikembangkan oleh penganut paganisme. Bahkan di Iskandariyah umat Kristen membunuh seorang ilmuwan perempuan dan membakar habis buku-buku di perpustakaan besar Iskandariyah. Padahal buku-buku tersebut bernilai penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesudahnya. Semua itu menunjukkan bahwa teologi Yahudi dan Kristen tidak mampu menginspirasi—apalagi mendorong—kemajuan sebuah peradaban.

Berbenturan
Sebetulnya sejarah Islam juga tidak sepi dari benturan antara agama di satu sisi dengan ilmu pengetahuan di sisi lain. Namun benturan itu lebih disebabkan oleh kesalah-pahaman dalam memahami kandungan kitab Al-Quran. Benturan yang dapat kita telusuri—terutama—adalah kritik Imam al-Ghazali terhadap hukum keteraturan dan kausalitas dalam alam. Dalam bukunya “Tahaafut al-Falaasifah”, al-Ghazali menolak pola kausalitas, sebab menafikan peran Tuhan dalam peristiwa alam. Dalam pandangan banyak pengamat keislaman, pandangan al-Ghazali yang sangat berpengaruh luas terhadap umat Islam itu berdampak pada pengabaian—jika bukan penolakan—terhadap tradisi penelitian yang selama beberapa abad telah menjadi etos keilmuan umat Islam.

Namun meskipun benturan itu terjadi—dan berdampak pada surutnya tradisi keilmuan di dunia Islam—tidak serta merta menunjukkan kegagalan teologi Islam dalam menopang peradabannya. Hal itu lebih disebabkan oleh kekeliruan umat Islam dalam memahami kekuasaan Tuhan dalam berhadapan dengan fenomena alam dan sosial. Oleh karena itu, perkembangan peradaban Islam bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan itu tergantung pada sejauhmana konsep tauhid dan kekuasaan Tuhan dimaknai secara selaras dengan anjuran ber-tafakkur dan tadabbur. Kedua istilah tersebut sebenarnya sangat menekankan pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal mana saat ini menjadi etos keilmuan dalam masyarakat Barat. Karena itu tidak salah jika Muhammad Abduh mengatakan bahwa ia melihat Islam di Eropa tanpa umatnya, dan melihat Islam di Mesir tanpa Islamnya. Oleh sebab itu, sepanjang umat Islam belum kembali kepada teologi Islam yang selaras dengan Al-Quran, maka dunia Islam akan mengalami stagnasi selama hayatnya.
GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.
Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang (Pondom Godang) –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis.Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus- kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua,
memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah, dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia.
Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannyamemisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu.
Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu,berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda.
Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat enjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya.
Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.
Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik,ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran(“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri AmirSyarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya ditengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (

Letak Geografis Senyerang

BAB I
LETAK DAN GEOGRAFI

                         
                Kecamatan Senyerang terletak antara 0 derajat 45’ LS  -  1 derajat 6’ LS dan antara 102 derajat 50’ BT  -  103 derajat 23’ BT.
Adapun batas – batas wilayah kecamatan Senyerang adalah sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Pengabuan, sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Tebing tinggi dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Riau dan kecamatan Tebing Tinggi.
Luas wilayah kecamatan Senyerang kurang lebih 70.176,9 Ha atau 701,769 Km2 yang terdiri dari :

1. Desa Sungai Rambai
    Luas   :   9.650,1 Ha      atau     96,501  Km2           
2. Desa Teluk Ketapang
    Luas   : 12.742,6 Ha      atau   127,426  Km2           
3. Desa Sungai Kayu Aro
    Luas   :  6.371,3  Ha      atau     63,713  Km2           
4. Desa Senyerang
    Luas   : 34.662,9 Ha      atau   346,629  Km2           
5. Desa Marga Rukun
    Luas   :      6.750 Ha      atau         67,5  Km2
6. Desa Lumahan
    Luas   :      7.029 Ha      atau       70,29  Km2            
7. Desa Kempas Jaya
    Luas   :      6.114 Ha      atau      61,14   Km2
    
LETAK, GEOGRAFI DAN FISIOGRAFI




1.  Kecamatan Senyerang terletak antara  0  derajat 45’  LS sampai dengan 1 derajat 6’ LS dan 102 derajat 50’ BT – 103 derajat 23’ BT.

2. Luas wilayah kurang lebih 70.176,9 Ha atau 701,769 Km2 dimana kecamatan Senyerang terdiri dari 1 kelurahan, 6 desa, 26 dusun dan 113 Rt dan Kelurahan Senyerang sebagai ibukota kecamatan.

3.  Fisiografis wilayah Kecamatan Senyerang merupakan dataran rendah dan didominasi oleh daerah rawa – rawa bergambut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ketinggian rata - rata dari permukaan laut antara 0 – 4 meter, sedangkan potensi wilayah yang utama adalah sektor pertanian terutama pertanian tanaman padi.

4.  Jarak dari ibukota  kecamatan ke desa – desa dalam wilayah kecamatan
     Pengabuan sbb :
     a. Senyerang ke Sungai Kayu Aro (Jln darat)           :      7 Km
     b. Senyerang ke Teluk Ketapang (Jln darat )            :    12 Km     
     c. Senyerang ke Sungai Rambai ( Jln darat )            :    19 Km 
     d. Senyerang ke Marga Rukun ( Jalan darat )          :    20 Km
     e. Senyerang ke Lumahan ( Jalan darat )                  :    23 Km
     f. Senyerang ke Kempas Jaya ( Jalan darat )           :    14 Km

5.  Curah hujan rata–rata bisa mencapai kurang lebih 180,8 mm per tahun, untuk jumlah hari curah hujan terbanyak adalah 2 hari. Suhu maksimum bisa mencapai 35 derajat celcius dan suhu minimum mencapai 20 derajat celcius.

6.  Batas-batas kecamatan Senyerang : 
- Utara      berbatasan dengan   kec. Reteh Kab. Inhil Prov Riau.
- Barat      berbatasan dengan   Prov. Riau dan kec. Tebing Tinggi.
- Selatan   berbatasan dengan   kec.Tebing Tinggi.
- Timur      berbatasan dengan   kecamatan Pengabuan.

7.  Ruang lingkup kecamatan Senyerang berdasarkan Peraturan Daerah Kab.
     Tanjung Jabung Barat No. 8 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :

1.     Kelurahan Senyerang  dengan ibukota      SENYERANG         
2.     Desa Sungai Rambai   denganibukota       SUNGAI RAMBAI
3.     Desa Teluk Ketapang  dengan ibukota      TELUK KETAPANG
4.     Desa S. Kayu Aro         dengan ibukota      TANJUNG MAWAR
5.     Desa Marga Rukun      dengan ibukota      MARGA RUKUN
6.     Desa Lumahan             dengan ibukota      LUMAHAN
7.     Desa Kempas Jaya      dengan ibukota      TELUK KEMPAS

8. Sungai – sungai yang ada di kecamatan Senyerang :
-   Sungai Pengabuan
-   Sungai Lumahan
-   Sungai Senyerang
-   Dan sungai – sungai kecil lainnya.
         

TABEL 1.1
JARAK ANTARA DESA/KELURAHAN DENGAN IBUKOTA KECAMATAN (SENYERANG )


Desa
Jarak Tempuh ( Km)
Melalui Darat
Melalui  Sungai
(1)
(2)
(3)
1.       Margo Rukun
20
26
2.       Sungai Rambai
19
25
3.       Teluk Ketapang
12
11
4.       Sungai Kayu Aro
7
4
5.       Senyerang
0
0
6.       Lumahan
23
29
7.       Kempas Jaya
14
12
Sumber : Kantor Camat Senyerang.


TABEL 1.2
JARAK ANTARA DESA/KELURAHAN DENGAN IBUKOTA KABUPATEN  TANJUNG JABUNG BARAT  ( KUALA TUNGKAL )


Desa
Jarak Tempuh ( Km)
Melalui Darat
Melalui  Sungai
(1)
(2)
(3)



1.       Margo Rukun
68
70
2.       Sungai Rambai
67
69
3.       Teluk Ketapang
60
55
4.       Sungai Kayu Aro
57
48
5.       Senyerang
48
44
6.       Lumahan
71
73
7.       Kempas Jaya
61
56



Sumber : Kantor Camat Senyerang


TABEL 1.3
JARAK ANTARA DESA/KELURAHAN DENGAN IBUKOTA PROVINSI JAMBI (KOTA JAMBI)


Desa
Jarak Tempuh ( Km)
Melalui Darat
Melalui  Sungai
(1)
(2)
(3)



1.       Marga Rukun
188
-
2.       Sungai Rambai
187
-
3.       Teluk Ketapang
180
-
4.       Sungai Kayu Aro
175
-
5.       Senyerang
168
-
6.       Lumahan
191
-
7.       Kempas Jaya
181
-



Sumber : Kantor Camat Senyerang


TABEL 1.4
JARAK ANTARA DESA/KELURAHAN DALAM WILAYAH KECAMATAN SENYERANG


Jarak dr Kantor Desa… ke … (Km)
Marga
Rukun
Sungai Rambai
Teluk
Keta
pang
Sungai Kayu
Aro
Senye
rang
Luma
han
Kempas Jaya

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

1.Marga Rukun
0
1
8
9
20
5
6

2.Sungai Rambai
1
0
7
8
19
4
9

3.Teluk Ketapang
8
7
0
5
12
11
2

4.Sungai Kayu Aro
9
8
5
0
7
12
6

5.Senyerang
20
19
12
7
0
23
20

6.Lumahan
5
4
11
12
23
0
13

7.Kempas Jaya
6
9
2
6
20
13
0










Sumber : Kantor Camat Senyerang. 


TABEL 1.5
LUAS  DESA / KELURAHAN MENURUT PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN SENYERANG TAHUN 2007 (Ha)


Desa
Luas Lahan Sawah
Luas Lahan Kering
Luas Desa
Diusaha
kan utk pertanian
Tidak di usahakan untuk pertanian
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1. Margo Rukun
925
397,9
5.427,1
5.825
6.750
2. Sungai Rambai
1.550
1.046,1
7.054
8.100,1
9.650,1
3. Teluk Ketapang
1.881
2.745
8.116,6
10.862
12.742,6
4. Sungai Kayu Aro
743
1.024,5
4.603,8
5.628,3
6.371,3
5. Senyerang
935
4.050
29.677,9
33.728
34.662,9
6. Lumahan
*
*
*
*
*
7. Kempas Jaya
*
*
*
*
*
Jumlah
6.034
9.263,5
54.879,4
64.143,4
70.176,9
Sumber : Kantor Camat Senyerang
Keterangan : * Luas lahan masih tergabung dengan desa induk.




TABEL 1.6
JUMLAH CURAH HUJAN DAN HARI HUJAN DI KECAMATAN SENYERANG TAHUN 2008

Bulan
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan
(1)
(2)
(3)
Januari
117
12
Februari
139
12
Maret
379
21
April
118
12
Mei
141
13
Juni
54
6
Juli
42
4
Agustus
87
6
September
7
1
Oktober
34
6
Nopember
70
11
Desember
131
13
Jumlah
1.317
117
Rata-Rata
182,8
13
Sumber : BP3K Senyerang .

TABEL : 1. 7  BATAS-BATAS DESA/KELURAHAN DALAM  
                         KECAMATAN SENYERANG TAHUN 2008


Desa


Utara

Selatan

Barat

Timur
1
2
3
4
5
1. Margo Rukun
Prov.Riau
S.Rambai
Prov. Riau
Tel.Ketapang
2. Sungai Rambai
Marga Rukun
Tbg.Tinggi
Prov. Riau,
Tbg. Tinggi
Tel.Ketapang
3. Teluk Ketapang
Prov.Riau
Tbg.Tinggi,
Senyerang
S. Rambai
S.Kayu Aro,
Senyerang.
4. Sungai Kayu Aro
Prov.Riau
Senyerang
Tel.Ketapang
Senyerang,
Mekar Jati
5. Senyerang
Mekar Jati
Tbg.Tinggi
Tel.Ketapang
S.Kayu Aro
Teluk Nilau
6. Lumahan
Prov. Riau
Tbg.Tinggi
Prov. Riau,
Tbg. Tinggi
S. Rambai,
Marga Rukun
7. Kempas Jaya
Prov. Riau
Tel.Ketapang
S. Rambai,
Marga Rukun
S. Kayu Aro
Sumber : Kantor Camat Senyerang.