Jumat, 18 Februari 2011

Perbedaan Sastra dan filsafat

Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat, betapapun penekanannya pada usaha unutuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Jika demikian apakah apakah kemudian itu berarti karya sastra identik dengan filsafat? Tentu saja tidak. Mengapa tidak? Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.
Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.
* * *
Masalah hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya bukanlah masalah baru. Sejak manusia mengenal cerita-cerita mitologis, sejak iu pula sesungguhnya hubungan sastra dengan filsafat — dalam pengertian yang lebih luas — sulit dipisahkan. Apakah cerita klasik macam Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Ilias dari Homerus, kisah Dewi Matahari Jepang. Ameterasu, karya sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam bentuk karya sastra, atau karya sastra yang berisi ajaran-ajaran filsafat?
Dalam khazanah sastra Indonesia, meski karya-karyanya belum dapat disejajar-kan dengan mitologi-mitologi tersebut, nama-nama Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin As-Samatrani, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji atau Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang), dikenal sebagai tokoh sufi yang ajaran tasawufnya (:filsafat) disampaikan le-wat puisi-puisi atau cerita-cerita simbolik. Munculnya istilah sastra sufi beberapa wak-tu lalu, juga sebenarnya bersumber dan mengacu pada karya-karya tokoh tasawuf itu.
Jika kita menarik karya-karya mereka jauh ke belakang, maka kita juga akan menemukan begitu banyak ajaran tasawuf (:filsafat islam) yang justru disampaikan dalam bentuk karya sastra. Sebut saja misalnya, karya Rabiah al-Adawiyah, penyair sufi wanita yang konon wafat tahun 752 (?), Al-Hallaj (828-921), Fariduddin Attar (1117-1234), Ibn Thufail (1106-1185) atau Sa’di Jalaluddin Rumi (1207-1270).
Di dunia Barat, juga sudah sejak lama mitologi Yunani klasik menjadi sumber ilham yang tak ternah habis-habisnya digali, baik untuk bidang filsafat, maupun sastra. Bahkan hingga kini tidak sedikit sastrawan di sana yang memuat semacam karya transformasi yang bersumber dari mitologi Yunani itu. Dalam perkembangannya kemudian, sejalan dengan munculnya berbagai macam aliran filsafat (Barat), muncul pula sejumlah filsuf yang menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.
Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya karya-karya Vol-taire (1694-1778). Lewat novel-novelnya, L’Ingenu (Si Lugu), Candide, dan Zadig, Voltaire secara satiris hendak mengejek filsafat Leibniz (1646-1716), terutama yang menyangkut filsafat deisme. Begitu pula Friedrich Nietzsche (1844-1900) lewat The Spoke Zarathustra-nya, menampilkan tokoh Zarathustra sebagai simbol manusia ung-gul (uebermensch) yang dicita-citakan Nietzsche agar memperoleh kebebasan mutlak. Dalam dunia filsafat, ia dipandang sebagai filsuf eksistensialisme yang paling radikal.
Tokoh lain yang dianggap sebagai penganjur filsafat eksistensialisme yang juga menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra, antara lain Albert Camus (1913-1960) dan Jean Paul Sartre (1905-1980). Gagasan filsafat eksistensialisme yang disam-paikan Sartre terdapat pada karya-karya pentingnya yang berupa novel, antara lain, La Nausee (Rasa Muak) dan Les Chemins de la Liberte (Jalan-jalan Kebebasan), serta karya drama Les Mouches (Lalat-lalat) dan Huis Clos (Pintu-pintu tertutup).
Hal yang sama juga dilakukan Albert Camus. Betapapun Camus sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan daripada filsuf, lewat La Peste (Sampar) dan L’Etranger (Orang Asing), ia juga bermaksud mempertegas gambaran dirinya sebagai sosok eksistensialis dalam berhadapan dengan kehidupan yang absurd.
Dalam filsafat islam, di samping tokoh-tokoh yang disebut terdahulu, Mohammad Iqbal (1873-1938) juga dikenal sebagai tokoh pemikir (:filsuf) Islam yang salah satu karya filsafatnya ditulis dalam bentuk puisi. Melalui puisi-puisi Parsi-nya yang panjang, sebagaimana yang tertuang dalam magnum opus-nya yang monumental, Javid Namah, Iqbal menyampaikan kritik pedasnya terhadap filsafat Barat dan pemi-kiran Islam tradisional. Di samping itu juga, ia juga menekankan pentingnya progresi-vitas dalam sikap dan pemikiran generasi muda Islam. Dalam hal itulah, pengembaraan rasio untuk memperkukuh keimanan Islami, mutlak ditumbuhkembangkan.
Tentulah kita masih dapat menyebut sejumlah karya sastra lainnya yang secara tematik memperlihatkan gagasan filsafat tertentu yang dianut atau yang sengaja diso-dorkan pengarangnya. Hal tersebut tidak hanya mempertegas, betapa sastra dan filsafat begitu erat hubungannya, tetapi juga tidak sedikit filsuf yang secara sadar menyam-paikan gagasan filsafatnya dengan mengemasnya ke dalam bentuk karya sastra.
Sungguhpun demikian, harus diakui pula, bahwa di antara karya-karya sastra yang sejenis itu, ada yang cenderung lebih berat ke filsafat daripada ke karya sastranya, atau sebaliknya, atau juga kedua-duanya. Karya-karya Camus, Sartre atau Iqbal, dapatlah kita masukkan karya sastra yang sarat bermuatan gagasan filsafat. Dalam kesusastraan Indonesia modern, karya yang semacam ini kita temukan pada novel-novel Iwan Simatupang (Ziarah), Danarto (Godlob), Sutan Takdir Alisjahbana (Grotta Azzura), Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit).
Dalam konteks itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang dibungkus ke dalam kemasan sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya sastra. Artinya, bahwa karya itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi kesastraannya. Gagasan filsafat yang terkandung dalam karya itu seyogianya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur kesastraan lainnya. Dengan demikian, gagasan filsafat itu akan lebur menjadi salah satu unsur yang justru ikut membangun nilai-nilai estetika karya bersangkutan.
Kecenderungan sastrawan yang terbawa oleh hasrat besarnya untuk berfilsafat dan mengabaikan nilai estetika kesastraan, akan tergelincir jatuh pada karya yang lebih dekat ke karya filsafat daripada ke karya sastra. Akibatnya, karya itu akan kehilangan daya tarik dan gregetnya sebagai karya sastra, karena ia lebih mementingkan gagasan filsafatnya daripada nilai estetiknya. Karya Sutan Takdir Alisjahbana, Grotta Azzura, misalnya, merupakan contoh betapa karya itu menjadi kurang menarik karena Alisjhbana lebih menekankan dialog-dialog panjang mengenai filsafat daripada kepaduan unsur-unsur novel itu sebagai kesatuan estetik. Dengan demikian karya itu — boleh jadi — lebih tepat ditempatkan sebagai karya filsafat daripada karya sastra.

Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra — yang bermutu — akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafat-nya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandung-nya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar