Selasa, 15 Februari 2011

Konflik Warga Senyerang dengan PT. WKS


Jakarta: Senin (8/11/10), petani kembali menjadi korban dalam konflik dengan PT Wira Karya Sakti (PT WKS), anak perusahaan Sinar Mas Group. Dua orang petani Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Jambi, ditembak pada saat melakukan aksi untuk merebut kembali hak atas tanahnya seluas 7.224 ha yang dirampas oleh PT WKS. Seorang petani yang bernama Ahmad (45) tewas ditempat dengan luka tembak di bagian kepala, sementara seorang lainnya mengalami luka tembak di bagian paha.

Peristiwa penembakan ini dipicu oleh PT WKS yang membawa aparat keamanan (Brimob, security perusahaan) yang berusaha membubarkan paksa aksi massa para petani yang menggunakan kapal pompong (kapal gethek). Pada pukul 13.30 WIB, aparat kepolisian menembak para petani dengan membabi buta dari atas kapal yang mereka bawa dengan tanpa diawali penembakan peringatan.

“Aksi ribuan petani yang dilakukan dengan cara melarang kapal perusahaan PT WKS melintasi sungai pengabuan disebabkan tidak adanya i’tikad baik dari perusahaan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Petani menuntut perusahaan untuk mengembalikan tanah yang telah diserobot oleh PT WKS. Tetapi perusahaan tak pernah merespon tuntutan petani yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ),” tutur Iwan Nurdin, mewakili sejumlah lembaga seperti KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), API (Aliansi Petani Indonesia), SPI (Serikat Petani Indonesia), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), yang membuat surat protes terbuka atas peristiwa tersebut, di Jakarta, Selasa (9/11/10).

Sehubungan dengan hal tersebut, kata Iwan Nurdin, sejumlah lembaga menyatakan sikapnya yang mengutuk keras tindakan brutal dan represif aparat kepolisian (Brimob Polda Jambi) atas penembakan yang menewaskan anggota PPJ. Selain itu, mereka menuntut pelaku penembakan terhadap anggota PPJ dihukum, izin PT WKS dari Jambi dicabut, Menteri Kehutanan harus mengembalikan tanah petani yang telah dirampas PT WKS, serta meminta supaya segala bentuk kekerasan terhadap petani dihentikan.

Iwan Nurdin menceritakan kronologis lengkap tewasnya petani Jambi. Awalnya pada Senin (8/11/10), PPJ, PT WKS dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi akan mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan. Namun, pertemuan itu dibatalkan secara sepihak oleh Pemprov Jambi dengan alasan warga petani PPJ hari ini masih melakukan aksi di lapangan.

Aksi masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) ini dilakukan di Desa Senyerang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Mereka melakukan penyetopan kapal-kapal PT WKS yang melintasi sungai pengabuan di Desa Senyerang dengan menggunakan kapal kecil atau pompong.

Aksi massa ini dilakukan karena tanah masyarakat seluas 7.224 ha di desa itu dirampas oleh PT WKS. Penyetopan ini menyebabkan kapal-kapal PT WKS yang membawa hasil pabrik pulp and paper tidak diperbolehkan melintas oleh warga. Kemudian, Brimob dari Polda Jambi, security dan karyawan perusahaan PT WKS berusaha membuka blockade warga masyarakat dengan cara menembak untuk menakut-nakuti.

“Karena tembakan ini, dua orang petani tertembak. Satu orang bernama Ahmad (45) langsung tewas karena kepalanya tertembus peluru. Korban ditembak di atas perahu pompong dan tewas di tempat. Akibat penembakan ini, warga marah dan melakukan pembakaran kepada kapal yang berisi Brimob dan karyawan PT WKS tersebut, dan kapal melarikan diri,” cetus Iwan Nurdin.

Saat ini korban tewas bernama Ahmad (45) dibawa ke Rumah Sakit Tungkal untuk dilakukan otopsi, sementara massa masih bertahan di Desa Senyerang, Jambi. Desa ini sangat terisolir dan jalan satu-satunya menuju ke lokasi harus melalui jalan milik perusahaan PT WKS.

“Saat ini, pers dan pengacara juga tidak dapat memasuki lokasi karena dilarang oleh perusahaan dan kepolisian,” tandas Iwan Nurdin.

Adapun latar belakang konfliknya, lanjut Iwan Nurdin, PT WKS mendapatkan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di lima kabupaten di Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Tebo. Seperti yang kerap terjadi, penunjukan kawasan dan penetapan SK oleh Menteri Kehutanan atas areal konsesi HTI tersebut dibuat secara sepihak. Kenyataannya, areal konsesi tersebut berada di perkampungan dan kebun-kebun masyarakat.

Sesuai dengan SK Menhut No.744/1996, sesungguhnya jika ditemukan areal-areal perkampungan dan kebun masyarakat, maka areal tersebut dikecualikan dan atau dikeluarkan dari wilayah konsesi perusahaan. Namun, perusahaan justru menggusur semua tanaman dan pondok masyarakat untuk menyatakan kampung dan kebun masyarakat tidak pernah ada.

“Karena hal tersebut, maka terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan HTI. Konflik pecah pada 27 Desember 2007 di Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo. Pada saat itu, 12 alat berat PT WKS yang menggusur kebun karet dan sawit warga dibakar oleh petani. Karena aksi pembakaran ini, 21 petani Desa Lubuk Mandarsah ditangkap dan ditahan oleh kepolisian. Pada 3 Agustus 2010, dua petani Desa Senyerang tertembak oleh Kepolisian Resort Tanjabbar saat berhadap-hadapan dengan warga. Dari latar belakang konflik dan kronologis itulah ada perwakilan dari PPJ yang melapor kepada kami, dan kami kemudian membuat surat protes terbuka yang sudah ditujukan (dilaporkan) kepada Mabes Polri dan Komnas HAM,” terang Iwan Nurdin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar