Rabu, 04 Mei 2011

Cara Pintar Berbahasa Inggris



Pengaruh Lingkungan Terhadap Anak

Pendahuluan
Pendidikan anak di jaman kesejagatan dan modern ini tidaklah mudah. Di satu sisi jaman ini memberikan berbagai banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak-anak kita memperoleh fasilitas yang serba “canggih” dan “wah”.  Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, camera, dan berbagai peralatan yang amat jauh dengan jaman “ aku si anak singkong”. Kemajuan yang demikian cepat juga ditengarai membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif melalui media masa dengan teknologi yang sulit untuk dihindari. Misalnya: porno, kekerasan, konsumerisme, takhayul, klenik dan kemusyrikan melalui berbagai media informasi seperti  internet, handphone, majalah, televisi dan juga vcd.

Berbagai kenyataan modernitas dan ketersediaan tersebut faktanya tidak sulit bahkan setiap hari disediakan baik oleh keluarga, masyarakat dan juga dunia informasi. Maraknya dunia periklanan memaksa informasi beredar lebih mudah, lebih seronok dan juga lebih merangsang rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba sebagai akibat “rayuan maut” publikasi yang memang dirancang secara apik oleh para ahli komunikasi dengan biaya yang mahal dan dengan dampak meluas dan mendalam. Dapat dikatakan informasi-informasi tersebut dapat lebih cepat hadir daripada sarapan pagi kita, atau lebih cepat disantap daripada nasehat orang tua. Informasi tersebut masuk melalui jendela-jendela ICT (information communication technology).
Lingkungan Pengaruh
Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “perjuangan, nilai-nilai, kebiasaan” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari). Sebagaian ahli menyebutnya dbahwa Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
Lingkungan kedua adalah lingkungan masyarakat, atau lingkungan pergaulan anak. Biasanya adalah teman-teman sebaya di lingkungan terdekat. Secara umum anak-anak Indonesia merupakan anak “kampung”  yang selalu punya “konco dolanan”. Berbeda dengan anak kota yang sudah sejak dini terasing dari pergaulana karena berada di lingkungan kompleks yang individualistik.
Secara umum masyarakat Jawa hidup dalam norma masyarakat yang relatif masih baik, meskipun pergeseran-pergeserannya ke arah rapuh semakin kuat. Lingkungan buruk  yang sering terjadi di sekitar anak, misalnya: kelompok pengangguran, judi yang di”terima”, perkataan jorok dan kasar, “yang-yangan” remaja yang dianggap lumrah, dan dunia hiburan yang tidak mendidik.
Sebenarnya masih banyak pengaruh positif yang dapat diserap oleh anak-anak kita di wilayah budaya masyarakat Jawa, seperti: tutur kata bahasa Jawa yang kromo inggil ataupun berbagai peraturan hidup yang tumbuh di dalam budaya Jawa. Masalahnya adalah bagaiamana mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar cocok dengan nilai-nilai modernitas dan Islam.
Namun pada masa kini pengaruh sesungguhnya mana yang buruk dan bukan menjadi serba relatif dan kadang tidak dapat dirunut lagi. Banyak anak yang mengalami kesulitan menghadapi anak bukan karena keluarga mereka tidak memberikan kebiasaan yang baik. Demikian juga banyak anak yang tetap dapat menjadi baik justru tumbuh di keluarga yang kurang baik.
Meskipun demikian secara umum berdasarkan penelitian, bahwa anak-anak akan selalu menyalahkan kondisi keluarga manakala mereka menghadapi masalah apa saja, apakah karena keluarganya  telah melakukan yang benar apalagi kalau buruk.
Indikasi pengaruh negatif
Sulit untuk dipisahkan apakah karena kondisi keluarga atau lingkungan sebaya dan pergaulan. Namun sebaiknya para orang tua perlu mengantisipasi beberapa indikasi negatif berikut ini:
(1)    Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.
(2)    Anak mulai menyukai kegiatan luar rumah pada jam-jam belajar di rumah dan mengalihkan pada kegiatan non-belajar, seperti: jalan-jalan ke mall, play station, dan tempat nongkrong lain. Berdasarkan penelitian Deteksi Jawapos (Maret 2005) bahwa anak-anak SD sekarang ini mengalami penurunan greget belajar karena memperoleh alternatif mengalihkan perhatian pada (acara TV, hiburan luar ruang, dan jalan-jalan).
(3)    Anak-anak merasa kesulitan menghafal atau mengerjakan PR secara terus menerus tetapi merasa ketagihan untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pencerdasan diri. Berdasarkan pengamatan Prof. Kusdwiratri (Desember, 2004) menurunnya minat intelektual disertai tidak berminatnya pada kegiatan lain yang mencerdaskan anak bukti berhasilnya sistem hiburan secara massal terhadap anak-anak Indonesia dan dunia belajar anak yang gagal. Perlu diwaspadai jangan sampai pengaruhnya berlangsung permanen.
Pendidikan Integratif
Dengan sitem pengaruh lingkungan seperti sekarang ini, cukup sulit bagi keluarga jaman ini untuk hanya menekankan pendidikan di salah satu lini saja. Sehebat apapun keluarga menyusun sistem pertahanan diri, anak-anak tetap akan menajdi santapan dunia yang serba modern. Kalau tidak sekarang ya akhirnya akan bersentuhan juga. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah juga bukan segala-galanya. Jaman ini amat sulit mencari pendidikan yang “kaffah lahir dan bathin” serta terjangkau biayanya oleh kebanyakan orang tua.
Namun dari berbagai kekhawatiran tersebut, kini mulai muncul berbagai pendidikan alternatif yang bisa dipilih. Namun tetap harus menekankan bahwa pendidikan keluarga adalah inti dan sekolah adalah komplemen pelengkap. Beberapa pilihan cerdas tersebut dapat berupa:
(1)      Sekolah fullday yang mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan sains dalam lingkungan terkontrol dan terarah dengan nilai-nilai modernitas dan islami.
(2)      Sekolah biasa yang bermutu dengan kontrol yang ketat dalam masalah akhlak dan perilaku dengan memberikan penguatan berupa kursus-kursus dan materi tambahan yang dapat memberikan keunggulan.
(3)      Sekolah pesantren dengan menambah penguatan pada aspek sains dan ketrampilan.
Rumahku Surgaku
Bagaimanapun ujung dari pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, yang berbasis rumah. Masalahnya adalah apakah setiap orang tua kita memiliki kecerdasan yang memadai untuk menjalankan fungsi besar ini? Itulah fungsi besar Ibu-ibu menjadikan rumah sebagai surga  melalui tangan bijak sang suami.
Nampaknya ibu-ibu rumah tangga perlu dicerdaskan melalui pendidikan mitra-sekolah. Bahkan di jaman “ibu-ibu sibuk” memasuki dunia kerja, maka para pembantu rumah tangga kita perlu menjadi “Nanny and Govern” yang cerdik pandai seperti Halimah di jaman Nabi yang mampu mengajarkan bahasa Arab dengan kualifikasi terbaik, Yukabad di Jaman Fir’aun yang mampu mengajari Musa bagaimana menjadi pemuda tangguh.
Penutup
Tantangan terbesar dalam pendidikan anak jaman ini adalah informasi yang rusak dan pengaruh buruk yang diciptakan oleh lingkungan modernitas yang tidak berbasis agama.
Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar amana, nayaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya. Padahal mana ada surga yang dibangun di atas keserbakekurangan iman, ilmu dan amal sholeh.
Tugas masyarakat adalah bagaimana menjadikan dirinya aman bagi generasi mereka sendiri. Kini yang terjadi kita semua mencemaskan lingkungan kita sendiri. Bahkan kita hampir-hampir tak percaya dengan sekolah kita bahwa mereka mampu menjadi daerah yang aman bagi anak-anak kita.
Tugas besar ini memang mirip dengan tugas kenabian:
”Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah:151).
Tetapi bukanklah Allah mengajarkan kepada kita  untuk senantiasa menyiapkan generasi yang terbaik untuk setiap jamannya.

Profil Dr. Sun Tat Sen

Dr. Sun Yat Sen’s Penang Base


Dr. Sun Yat Sen
Dr. Sun Yat Sen alias Sun Chong San was born in Guandong Province, near Macao. He studied as a youth in Hawaii and Hong Kong and worked as a medical doctor in Canton and Macao.

Sailing several times around the world, he campaigned for the Chinese Revolution, attracting considerable support from the Overseas Chinese.
Dr. Sun promoted the ideology of the ‘Three Principles of the People’ (Nationalism, People's Power and People's Livelihood).
Dr. Sun Yat Sen as a young revolutionary in London,
where he was ‘kidnapped’ by the Chinese Embassy
RECOMMENDED LINKS
Dr. Sun & 1911 Revol
Recognized by Chinese everywhere as their country's modern founder, the physician-turned-nationalist failed in his dream of unification 
DR. SUN YAT SEN IN PENANG
Dr. Sun first came to Penang in 1905. Each year, he visited Penang to give speeches and promote the revolution.
He moved the Southeast Asian headquarters of the T’ung Meng Hui from Singapore to Penang, at a time when his greatest backing came from the Penang party members.
In 1910, Dr. Sun lived in Penang for six months, with his family, his first wife Madam Lu Muzhen, his second wife Madam Chen Cuifen, his two daughters and his brother. The daily expenses of Dr. Sun and his family were borne by his Penang supporters.
Dr. Sun Yat Sen’s house at Dato’ Kramat Road, Penang, demolished in the 1960s. Dr. Sun Yat Sen’s
first wife (in black), second wife (left) and two daughters Sun Yan and Sun Wan are shown here.

DR. SUN'S PENANG SUPPORTERS

From left to right:
  • Wu Shirong alias Goh Say Eng, Penang T’ung Meng Hui leader, continued to be a leader of the overseas Kuomintang after 1911.
  • Huang Jinqing alias Ng Kim Kheng, gave away his fortune for the cause.
  • The poet Luo Zhonghuo, and two others, were martyrs of the Canton Uprising.
  • Chen Xinzheng alias Tan Sin Cheng spearheaded the founding of Chinese schools in Penang.
THE 'PENANG WIFE'

Madam Chen Cui Fen (1873-1962) also known as Tan Sua Huan was Dr. Sun’s common-law wife. When she was 19, they met in Hongkong. During the revolution, she was responsible for printing, intelligence and transporting firearms.
Madam Chen got on very well with Dr. Sun’s first wife Madam Lu. In 1910, both stayed together in Penang with Dr. Sun and his daughters from the first wife.
After the revolution, Madam Chen returned to Penang and looked after his two daughters who attended school at Convent Light Street, Penang.

Selasa, 03 Mei 2011

Daftar Nama-nama Pejabat

DATA PEJABAT, KEPALA, KANTOR, BADAN, DINAS, SKPD DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT TAHUN 2011
UPDATE, 12 APRIL 2011
NAMA P JABATAN
Ir. H. FIRDAUS KHATAB, MM Plt. SEKTERATIS DAERAH

SFAT AHLI BIDANG PEMERINTAHAN
H. R. GATOS SUWARSO, SH, MM SFAT AHLI BIDANG HUKUM DAN OLITIK

SFAT AHLI BIDANG EKBANG
Drs. H. AZWAR, MM ASISTEN PEMERINTAHAN
Drs. H. MUKHLIS, M.Si ASISTEN PEREKONOMIAN
Drs. H. HENDRIFAL ASISTEN ADMINISTRASI
Drs. MUKRI KEPALA BADAN KBPMP
H. ANDI ANDIKA, SH KEPALA BADAN KESBANGPOLLINMAS
Drs. HAMZAH KEPALA BADAN LINGKUNGAN HIDUP
Drs. H. JOHANES CHAN KEPALA INSPEKTORAT/INSPEKTUR


MANSUR, SH, MM KEPALA KANTOR PERIJINAN TERPADU
BAILAH, S.Si (a.Pt), M.Si KEPALA KANTOR PDE
SAMHURI, SH KEPALA KANTOR KETAHANAN PANGAN
MARDI BARUS, SP KEPALA KANTOR PPKTB
ISMUNANDAR, SH KEPALA KANTOR POL PP
Drh. BUDIONO RIYADI KEPALA KANTOR LITBANGDA


Ir. RISKAN IRAWAN KEPALA DINAS PETERNAKAN
Drs. H. HENDARMAN, MM KEPALA DINAS ESDM
Drs. H. KOSASIH KEPALA DINAS PERINDAG & PROMOSI
Ir. HERU WIDODO KEPALA DINAS DUKCATPIL
Drs. H. M. HUSAINI, ME KEPALA DINAS PERIKANAN/KELAUTAN
Ir. ZAINUDDIN, MM KEPALA DINAS HOLTIKULTURA


YUDELMI, SE, MM KABAG EKONOMI
H. M. SAID, HS, SE KABAG SOSIAL
MOH. SYUKRI, SH KABAG HUKUM

KABAG SDA
ZAHENDRA, SE KABAG KEUANGAN
YAHNI, Aks KABAG HUMAS
Drs. JAUHARI KABAG PEM
ARDIAN, S.Sos KABAG PEMDES
Ir. ZULKIFLI KABAG PP
Drs. MOH. THAHER KABAG ORGANISASI


RUSTAM, A.Ma.Pd KEPALA UPTD KEC. SEBERANG KOTA
SARYOKO, S.Pd KEPALA UPTD KEC. PENGABUAN
SULASTRI, S.Sos KEPALA UPTD KEC. TUNGKAL ULU
ZULFIKAR, S.Pd KEPALA UPTD KEC. TEBING TINGGI
AMBO ANTKA, S.Pd KEPALA UPTD KEC. KUALA BETARA
BUKRI, A.Ma KEPALA UPTD KEC. MUARA PAPALIK


Ir. HAMZAH CAMAT PENGABUAN
M. JAMIL GUMRI, S.Ag CAMAT TUNGKAL ILIR
Drs. RAHIMRUS CAMAT BRAM ITAM
SYAHRIANTO, S.STP CAMAT BATANG ASAM
ANDI BAHARUDDIN, S.STP CAMAT KUALA BETARA
ANWAR, S.IP CAMAT TEBING TINGGI

CAMAT MUARA PAPALIK
Drs, AGOES MA’MUM CAMAT MUARA PAPALIK
WAHYUDI, S.Sos CAMAT SEBERANG KOTA


ALMARDI, SE SEKCAM MERLUNG
H. M. ALWI SEKCAM BETARA
M. SOFIAN, BA SEKCAM PENGABUAN
Drs. MARASONTANG SIREGAR SEKCAM BATANG ASAM
PONDI SAYUTI, SE SEKCAM KUALA BETARA


ABDUL KADIR, SE LURAH PELABUHAN DAGANG


drg. KHAIRIN KEPALA POSKESMAS II TUNGKAL ILIR
dr. ABDUL BARI KEPALA POSKESMAS TEBING TINGGI
dr. A. SURYA DHARMA GINTING KEPALA POSKESMAS MUARA PAPALIK
dr. ARWIN AGUS KEPALA POSKESMAS TUNGKAL ULU
dr. CANDRA OKTAVIANUS. S KEPALA POSKESMAS BUKIT INDAH PAPALIK
dr. HENNY SULISTIAWATI KEPALA POSKESMAS I TUNGKAL ILIR
SYAIFUL, SKM KEPALA POSKESMAS SENYERANG
M. EDWIN KEPALA POSKESMAS MUARA DELI
drg. LENNY MARLINA KEPALA POSKESMAS PIJOAN BARU
CATATAN : MOHON MAAF JIKA MASIH ADA YANG KURANG DALAM DATA INI, DATA INI AKAN TERUS DIPERBAHARUI DAN DI LENGKAPKAN. JIKA PENGUNJUNG BERNIAT MEMBERIKAN KELENGKAPAN DATA-DATA, KIRIMKAN KE E-mail saya: samudra_arai82@yahoo.com

Senin, 25 April 2011

Pemikiran Islam Modern

Tajuk diatas tidak dimaksudkan untuk mengidentifikasi Rifa’ah al-Thahthawi sebagai akar penyimpangan pemikiran Islam modern, sebagaimana kesan mula-mula. Judul ini lebih karena mengikuti judul buku darimana tulisan ini berasal. Artikel dibawah ini disarikan dari bagian awal buku yang ditulis Jamal Sulthan berjudul Judzur al-Inhiraf fi al-Fikr al-Islami al-Hadits. Pemilihan Rifa’ah al-Thahthawi kiranya dapat dimengerti. Dialah orang pertama dari masyarakat Muslim yang mula-mula berkenalan dan ”berguru” secara langsung kepada peradaban Barat. Dengan mengenal profilnya, diharapkan kita menjadi lebih sadar peradaban, secara internal maupun eksternal, dalam membaca apapun yang kita baca.

Ditengah kecamuk perang antara pejuang Islam dan pasukan pendudukan Prancis, Rifa’ah dilahirkan pada tahun 1801 M. di Thahtha. Seperti bocah umumnya pada masa itu, Rifa’ah kecil menghafal al-Quran dan sebagian buku-buku agama sampai ayahnya meninggal. Dia kemudian bermigrasi ke Kairo dimana dia bertemu dengan para penghuni al-Azhar, para pencari ilmu yang berdedikasi. Tidak lama kemudian, tampaklah keistimewaan Rifa’ah dibanding sebayanya dalam bidang-bidang seperti fiqh, bahasa, hadis, dan tafsir hingga kemudian dia masuk dalam lingkaran ulama, dimana dia memiliki halaqah ilmiah dalam bidang tafsir. Namun selanjutnya keadaan mendesaknya untuk masuk dalam ketentaraan Mesir yang baru dibentuk oleh Muhammad Ali.
Di saat itulah Rifa’ah berkenalan dengan Syaikhul Azhar, al-Syaikh Hasan al-Aththar, yang sangat berpengaruh dalam mengarahkan pemikirannya tentang kebangkitan modern. Orang inilah yang menyebarkan ide-ide kebangkitan, kebutuhan untuk segera mereformasi umat, dan keharusan untuk menambah perbendaharaan pengetahuan. Saat itu ekses serangan Prancis masih terasa dan belum lewat satu setengah dekade ketika Muhammad Ali mengirim delegasi ilmiah ke Prancis untuk memelajari ilmu-ilmu modern, seperti kedokteran, teknik, administrasi, dan lain sebagainya. Muhammad Ali mengajukan permohonan pada al-Azhar untuk menunjuk imam yang nantinya mengimami anggota delegasi dalam salat dan membantu mereka dalam fatwa keagamaan. Syaikh Hasan al-Aththar menunjuk Rifa’ah al-Thahthawi sebagai imam yang sejak pertama kali tiba di Prancis, pada 1825 M., mengalami transformasi. Mula-mula Rifa’ah memelajari bahasa Prancis yang dia kuasai secara baca-tulis namun tidak secara percakapan. Di sana, dia memelajari setiap segi kehidupan Prancis dan menuliskannya dalam catatan harian, atas permintaan gurunya Hasan al-Aththar. Dikemudian hari kumpulan tulisan ini diterbitkan dengan judul Takhlish al-Ibriz fi Talkhish Bariz, setelah masa enam tahun di Prancis.
Lawatan yang dilakukan ini merupakan perjumpaan pertama antara peradaban Islam (di zaman) modern—dengan tradisi taqlidnya yang (nyaris) sepenuhnya—dan peradaban Barat modern dengan superioritas dan dinamikanya. Pada perjumpaan ini belum dijumpai pembicaraan tentang hal-hal yang layak diadopsi dari Barat dan mana yang tidak; apakah kita meninggalkan peradaban Barat sama sekali atau, sebaliknya, kita harus sepenuhnya meniru Barat jika ingin mencapai kemajuan yang dicapai Barat—perbincangan-perbincangan yang mewarnai generasi sesudah Rifa’ah, yang secara umum terbagi dalam dua kutub besar: konservatif dan pembaharu. Karena itu, respon dan sikap dari generasi pasca Rifa’ah—konservatif maupun pembaharu—terhadap Barat tidak bebas dari nilai-nilai yang diwarisi dari generasi sebelumnya.
Kunjungan Rifa’ah memiliki arti penting karena penulisan sejarah kebangkitan Muslimin awal pasca penjajahan mengandung banyak kesalahan yang berakibat pada kesalahan pahaman dalam memahami hakikat kebangkitan Islam. Sejarah masa-masa awal kebangkitan perlu ditulis kembali secara objektif tanpa melibatkan asumsi-asumsi yang tidak sesuai dengan fakta historis. Jamal Sulthan menyebutnya sebagai tribalisme pemikiran dalam studi kebangkitan modern. Fenomena ini tampak dalam kecenderungan masing-masing golongan untuk menyebut pelopor gerakan pembaharuan sebagai sealiran dengan kelompoknya. Kalangan sekular memandang ateisme lah yang berperan dalam pemikiran Arab modern. Para nasionalis Arab memandang bahwa para pembaharu mengumandangkan kebangkitan nasionalisme Arab. Kaum Marxis memandang mereka sebagai cikal bakal transformasi borjuis menuju sosialisme.
Sementara mayoritas kalangan Islamis menghindari perbincangan tentang pembaharuan tahap awal. Ada lagi yang mencukupkan diri dengan mendiskusikan tentang generasi pembaharu belakangan, khususnya generasi ketiga; tentang perdebatan antara Thaha Husayn, al-Aqqad, al-Rafi’i, Haykal, dan Farah Antoine. Hal ini menjauhkan dari pemahaman terhadap pokok permasalahan dan sumber kekacauan bangunan pemikiran umat Islam. Yang lebih berbahaya lagi, di kalangan aktivis Muslim, ada diantara mereka yang mengambil pendapat ”asing”—asing dalam hal kebangsaan atau pemikiran. Sehingga mereka memeroleh gambaran tentang masa kebangkitan Islam melalui kacamata sekularis, marxis, dan nasionalis, yang tentu saja membuat mereka mengambil sikap negatif terhadap era kebangkitan Islam awal dan simbol-simbolnya. Seringkali deskripsi yang diberikan oleh sekularis dan marxis memberi gambaran tidak islami yang menyebabkan tokoh-tokoh semacam Rifa’ah al-Thahthawi disalah pahami. Hal ini mengharuskan kita menulis kembali dan merekonstruksi sejarah kebangkitan Arab modern.
Sejak hari-hari pertama di Prancis, Rifa’ah percaya bahwa dari peradaban Eropa ada sesuatu yang harus ditransfer ke masyarakat Muslim. Ihwal inilah yang mendorongnya memelajari baca-tulis bahasa Prancis tanpa terlalu menguasai percakapan dalam bahasa tersebut, hal mana yang menunjukkan kesungguhannya dalam tulisannya yang dia pandang dinantikan oleh umat. Diakhir bukunya Takhlish al-Ibriz fi Talkhish Bariz, Rifa’ah menulis bahwa ”Prancis, tidak ragu lagi, benar-benar berperadaban” dan bahwa ””Yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak insyaf dan tidak berpengetahuan”. Setiap kali melihat ciri-ciri peradaban di Prancis dia merasa gelisah seraya menegaskan bahwa peradaban ini “Seharusnya peradaban semacam ini lebih pantas berada di dunia Islam dan negeri-negeri Syariat Nabi saw”. Kegelisahan al-Thahthawi ini begitu besarnya hingga dalam detail-detail kecil, seperti soal kebersihan, seperti tampak dalam ungkapannya ”Diantara ihwal yang baik dalam kepribadian orang Prancis adalah kecintaan pada kebersihan lahiriah, padahal kebersihan adalah bagian iman dan mereka sedikitpun tidak memiliki iman”.
Usai kembali dari Paris, Rifa’ah menegaskan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Muslim yang berperadaban hubungan masyarakat Muslim dan asing mesti ditingkatkan dan diperkuat. Dalam bukunya Manahij al-Albab al-Mishriyah fi Mabahij al-Adab al-’Ashriyah, dia menulis ”Sarana terutama menuju kemaslahatan umum adalah dengan melonggarkan interaksi dengan asing dan menganggap mereka sebagai penduduk lokal”. Ungkapan ini dan semacamnya yang banyak muncul dalam tulisan-tulisan Rifa’ah memberi gambaran pada kita tentang awal mula dualisme dalam pemikiran Islam dan—lebih jauh lagi—keterbelahan kepribadian pemikir Muslim.
Kesalahan dalam mengidentifikasi sebab-sebab kemajuan menyebabkan Rifa’ah keliru dalam memahami hakikat interaksi antara Eropa dan Islam. Hal ini terlihat ketika dia menulis ”Kerajaan yang lemah pada masa sekarang terjamin keberadaannya, selama tidak terganggu oleh kondisi politik dalam negeri yang menggangu konstitusi. Dengan demikian, pada masa sekarang, keunggulan kekuatan sebuah kerajaan tidak dapat membenarkan agresi atas kerajaan lain karena ada pakta pertahanan yang merupakan salah satu dari buah kemajuan modern dalam tata pemerintahan”. Untuk melihat kesalahan analisis yang dilakukan Rifa’ah kita cukup melihat jalannya sejarah usai tulisannya dipublikasikan, bahkan sebelum itu, yang penuh dengan suasana konflik dan benturan dalam hubungan internasional alih-alih idealisme yang digambarkannya. Kesalahan yang pada mulanya kecil ini (baca: analisis peradaban), yang menyertai perjumpaan awal Islam dan Barat, menjadi semakin membesar pada masa generasi berikutnya dan berpuncak pada loyalitas mutlak sebagian kecenderungan pemikiran Arab terhadap ”orang tua” peradabannya, Eropa.
Penting untuk dicatat, dalam konteks kebangkitan, bahwa penghilangan konsep benturan–atau sekurang-kurangnya konfrontasi–peradaban akan menyebabkan para pemikir hanya memiliki satu alternatif, cepat atau lambat, yaitu bahasa afirmasi dan mengikuti peradaban yang dominan. Hal ini bermula, secara bertahap, sejak Rifa’ah yang sekalipun memiliki pandangan kritis terhadap Eropa, tapi kritisisme ini berhenti pada ranah teoritis yang muncul dari identitas ilmiahnya sebagai cendekiawan al-Azhar yang berakar pada nilai-nilai otentik pemikirannya secara umum. Pada tataran praktis dan wilayah gerakan kebangkitan peradaban, Rifa’ah justru telah menanam mental latah yang timbul dari kecenderungan emosionalnya pada Eropa dan pada gilirannya menghilangkan sekat psikologis-historis untuk mendekatkan peradaban Islam dengan Eropa. Tujuan ini terlihat dalam usaha al-Thahthawi untuk mendekatkan pokok-pokok Islam dan Barat. Dia menulis ”Seseorang yang memelajari ushul fiqh dan memahami kandungannya akan merasa yakin bahwa semua penemuan rasional yang dicapai oleh peradaban umat manusia dan dijadikan dasar-dasar hukum mereka tidak banyak berbeda dari ushul fiqh yang merupakan pokok hukum-hukum fiqh. Apa yang kita namakan ushul fiqh menyerupai apa yang mereka namakan hak-hak alamiah atau hukum natural, yang merupakan kaidah akliah yang menjadi dasar hukum sipil mereka, … Kecintaan dan loyalitas terhadap agama yang dipegang teguh oleh umat Islam, yang membuat kaum Muslimin unggul atas umat lain, mereka namakan cinta tanah air”. Pernyataan semacam ini menyiratkan mobilisasi psikologis pada umat Islam untuk mengikuti konsep kebangsaan ala Eropa, karena secara tidak langsung dia ingin mengatakan bahwa peradaban Eropa tidak lain adalah bentuk baru dari sendi-sendi ajaran Islam.
Rifa’ah adalah tokoh al-Azhar pertama yang pertama kali menerjemahkan undang-undang Prancis untuk dikirim ke negara-negara Islam, sekalipun dia tidak setuju terhadap perundang-undangan tersebut. Dia menulis ”Saat ini di negara-negara Islam dewan perdagangan bercampur dengan dewan penyelesaian sengketa yang didasarkan atas perundangan Eropa. Padahal andaikata hukum fiqh diterapkan niscaya hal itu tidak mengurangi hak …”. Kegelisahannya membuat Rifa’ah menerjemahkan buku Monstequieu Spirit of the Law dan buku Ushul al-Huquq al-Thabi’iyah allati Ta’tabiruha al-Ifranj Ashlan li Ahkamihim, sekalipun pada akhirnya dia enggan untuk mencetak dan memublikasikannya di negara-negara Islam.
Skizofrenia peradaban dalam pembentukan manusia Arab modern dan kebingungan antara teori dan realita bisa kita lihat dari ungkapan kekecewaan teoritis al-Thahthawi terhadap mereka yang bertaklid pada orang asing dalam pakaian, dia menulis: ”Boleh jadi sebagian orang menduga bahwa berpakaian dengan baju negeri asing yang berperadaban termasuk hal yang baik, sehingga dia berusaha sebisa mungkin untuk tampil berbeda dengan kebanyakan orang tanpa alasan yang mengharuskan, padahal mengikuti tradisi sendiri sama sekali tidak mengurangi nilai seseorang”. Rifa’ah sendiri di akhir hayatnya mengganti pakaian tradisional ala al-Azhar dengan pakaian gaya Barat. Jalan yang ditempuhnya hanya memiliki satu alternatif; jika telah dimulai, ia akan berakhir dengan peniruan peradaban dan kesadaran. Pada tahap ini, sisa-sisa tradisi yang masih bertahan hanya akan membuat kegelisahan psikis dan kebingungan antara teori dan realitas.
Dewan pengawas pengiriman delegasi Mesir, Masiu Gumar, tepat sekali ketika menyampaikan pidato penutup di akhir perjalanan delegasi, seraya menampakkan kegembiraannya terhadap kesuksesan delegasi, dia berkata ”Yang kita nantikan adalah agar khayalan-khayalan timur (al-khurafat al-syarqiyyah) dapat segera terhapus dari akal mereka; agar lapisan tebal yang menutupi mata orang-orang timur dan mengikat mereka dengan kekanak-kanakan akan hilang perlahan-lahan”. Dan tepat sebagaimana yang dikatakannya, hilanglah, secara bertahap, orisinalitas pemikiran islami dari komponen generasi ini.
Dalam sebuah penelitian sistematis tentang asas kemajuan menurut pemikir-pemikir Islam di dunia Arab modern, Fahmi Jad’an menulis ”Sejak semula telah disepakati bahwa Islam sinonim dengan peradaban dan kemajuan, dan bahwa langkah-langkah menuju kemajuan tidak dapat dilakukan kecuali melalui nilai-nilai dasar Islam sendiri. Adagium ini disepakati pada masa terakhir kemunduran pertama daulah Utsmaniyah, pasca revolusi Utsmaniyah kedua, dan akhirnya pada tahun-tahun menjelang perang dunia pertama dan penghapusan khilafah.” Tulisan Fahmi Jad’an ini sangat tepat menggambarkan fakta. Generasi pada masa itu—dan sesudahnya—sedikitpun tidak berpikir bahwa Islam adalah penghalang kemajuan, atau sekurang-kurangnya tidak seorangpun berani menyatakan hal ini secara terang-terangan sekalipun dia memandang kelemahan umat Islam dan kerinduan luar biasa terhadap kemerdekaan dan kebangkitan. Persoalan mendasar yang menjadi pertanyaan saat itu adalah apa yang kita ambil dari Islam dan apa yang kita ambil dari peradaban Barat. Kesalahan dari pertanyaan ini adalah meletakkan Tradisi Islam dalam tingkatan yang sama dengan peradaban Eropa untuk diambil dan ditinggalkan bagian-bagian yang diperlukan. Dan tentu saja, elemen-elemen Islam yang ditinggalkan tidak disebut sebagai Islam dengan beralasan mendahulukan kemaslahatan atas teks; mendahulukan spirit syariah atas ketentuan-ketentuan partikular; bahwa sebuah hukum khusus untuk zaman Nabi saw. Pikiran semacam ini terus berlangsung dan dapat kita saksikan semenjak masa kebangkitan pertama hingga hari ini.
Dalam memoarnya, Rifa’ah menekankan bahwa ”Sudah pasti bahwa saya tidak menganggap baik kecuali sesuatu yang tidak bertentangan dengan teks syariah Muhammad”. Lebih jauh lagi dia berusaha menandaskan ketidak beradaban segala sesuatu yang bertentangan dengan syariah, dia menulis ”Segala hal yang dilarang oleh syariah, eksplisit atau implisit, adalah terlarang dan tidak termasuk peradaban. Tidak demikian halnya dengan hal-hal mubah jika akal berusaha mendapatkan yang lebih baik, maka hal ini adalah esensi dari peradaban.” Dari premis ini Rifa’ah menyimpulkan ”Tidak syak lagi bahwa risalah para Rasul dengan membawa syariah adalah sumber peradaban sejati yang harus dipertimbangkan; dan bahwa pokok-pokok hukum Islam lah yang menjadikan negeri-negeri di seluruh dunia berperadaban dan dengannya cahaya petunjuk bersinar di seluruh penjuru”. Pernyataan ini adalah pernyataan keimanan yang berurat akar dalam diri Rifa’ah sebagaimana hal itu juga berakar dalam diri Muslim pada umumnya. Hanya saja persoalannya bukan pada dimensi iman teoritis, ia ada dan bermula dari aspek metode dan penerapan. Generasi ini–dari sisi penerapan–tidak mampu menerjemahkan kaidah keimanana ke dalam program-program kebangkitan yang tepat dan orisinal, seringkali mereka menggunakan produk dari peradaban lain untuk menutupi kekurangan. Penegasan mereka bahwa bahwa produk asing yang digunakan bukan merupakan pokok dan yang utama hanyalah usaha untuk menenangkan diri mereka bahwa hal ini tidak keluar dari Islam, mereka berkata ”Kami menjadikan Islam sejalan dengan semangat modernitas” atau ”Kami membuktikan bahwa Islam sesuai untuk segala zaman dan tempat”.
Disamping usaha untuk membandingkan ushul fiqh dengan pokok-pokok perundangan Barat; dan konsep Umat dan konsep kenegaraan, kita dapat melihat hal lain yang dapat menjadi bukti cacat metode dan aplikasi yang dialami oleh al-Thahthawi dan generasinya. Al-Thahthawi menulis buku Manahij al-Albab al-Mishriyah fi Mabahij al-Adab al-Ashriyah sebagai pencerahan untuk mendorong kebangkitan umat. Dalam mengelaborasi metode yang digunakan untuk modernisasi, dia menulis ”Saya ambil isi buku ini dari buku-buku berbahasan Arab dan karangan-karangan berbahasa Prancis serta ide yang muncul yang saya anggap sesuai. Saya juga mengukuhkannya dengan ayat-ayat al-Quran, Hadits Nabi saw dan dalil-dali penjelas”. Dalam komposisi metode diatas, dia menjadikan karangan-karangan berbahasa Prancis sebelum al-Quran dan al-Sunnah. Bukan hanya itu saja, bahkan keduanya tidak berperan dalam pembentukan konsep-konsep orisinal. Peran keduanya hanya ”mengukuhkan” saja terhadap pemikiran-pemikiran yang disarikan dari buku berbahasa Prancis dan lainnya.
Inilah yang kesalahan mendasar yang terjadi pada masa itu, yaitu memilah dan memilih nilai-nilai Islam yang sesuai dengan pikiran-pikiran yang ditransfer. Dengan ini kita bisa memahami lebih baik sikap semisal Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) yang sebagian fatwanya mencirikan semacam ”kristenisasi” realitas masyarakat Islam, seperti dalam pembatasan talak, pembatasan poligami, dan problem-problem kemasyarakatan. Kita seharusnya memahami karakteristik daripada kekurangan masa kebangkitan ini. Kekurangan ini tidak berasal dari kurangnya agama (keimanan), karena mereka adalah kaum beriman yang bahkan terkadang sangat fanatik pada Islam. Cacat itu muncul dari taqlid peradaban yang terkait dengan definisi Islam dan pembaharuan pemikiran keagamaan dan dari usaha untuk meneguhkan bahwa Islam sesuai untuk setiap masa dan tempat yang secara ilmiah kemudian bermakna bahwa Islam sesuai dengan—dan tunduk terhadap—setiap masa dan tempat. Dalam catatannya dia mencatat pandangannya terhadap Prancis bahwa ia adalah ”Negeri-negeri kufur dan penentang”. Dia juga menyusun puisi yang mencerminkan keimanan yang mendalam dan kebencian yang kuat terhadap kesesatan dan kekufuran Eropa, seperti dalam puisi berikut ini:
Andaikata aku menalak tiga Paris hal ini tidak lain hanya untuk bertemu Mesir
Keduanya bagiku adalah pengantin wanita hanya saja Mesir bukan anak kekufuran
dan puisinya yang lain:
Adakah negeri lain seperti Paris? matahari ilmu tak pernah terbenam di dalamnya
sedangkan gelapnya kufur takkan ada pagi menjelang hei! ingatlah ini sungguh aneh
Disamping itu dia juga punya catatan tersendiri atas kesesatan filsafat Prancis seperti tulisannya ”Hanya saja dalam ilmu hikmah, ajaran mereka (orang Prancis) mengandung kesesatan-kesesatan yang bertentangan dengan semua kitab samawi dan mereka berargumen dengan bukti-bukti yang sulit dibantah orang awam”. Karenanya al-Thahthawi mengingatkan bahwa ”Orang yang hendak belajar bahasa Prancis yang mengandung hal-hal filosofis haruslah mendalam dalam al-Quran dan al-Sunnah agar supaya dia tidak terbujuk oleh buku-buku itu dan akidahnya menjadi lemah”. Disini, dia berbicara sebagai ulama al-Azhar yang mendalam keimanannya, sangat menjaga agama dari syubhat dan kebatilan, sangat perhatian terhadap keselamatan iman umat. Akan tetapi dari sisi metode penerapan, dia memilih pendekatan untuk menguatkan hubungan pemikiran, nilai, dan perundangan antara Prancis dan Mesir; antara atmosfer yang penuh kekufuran dengan akal Islam yang sedang bangkit. Ketika sistem nilai umat telah terkotori dan rajutan syariah terurai maka kita telah memisahkan agama dari realitas sosial, yang pada akhirnya akan berujung pada benturan antara nilai keagamaan yang tersisa dan masyarakat modern yang dibangun atas dasar perundangan yang tidak berasal dari agama ini. Apalagi pemisahan realitas sosial dari agama yang agama melemahkannya, menafikan peran positif dan efektifitasnya dalam kenyataan akan menyebabkan agama kehilangan peran dan dan menjadi lemah dalam kehidupan nyata, sebagaimana yang kita saksikan sendiri di banyak tempat dari negeri-negeri Islam.
Kepapaan terhadap metode penerapan yang mengaitkan dimensi iman dan dimensi peradaban menyebabkan kesalah pahaman banyak peneliti yang memelajari Rifa’ah. Diantara mereka ada yang menyebutnya sebagai orang yang ”lemah iman”, yang lain menyebutnya secara berlebihan sebagai ”reaksioner” sampai ”rasionalis modern”. Seperti Muhammad Imarah ketika memberikan pendahuluan terhadap kumpulan tulisan Rifa’ah, dengan yakin dia menulis ”Karena mengagungkan pada peradaban Eropa dan hasil pemikirannya, dan percaya pada nilai-nilainya, al-Thahthawi memandang kesalahan pandangan lama yang mendominasi abad pertengahan dimana manusia dibagi menjadi kaum beriman dan kaum kafir”. Penilaian ini, tak syak lagi, banyak mengandung kedangkalan, karena ungkapan al-Thahthawi dalam buku Takhlish al-Ibriz sangat jelas mengatakan bahwa Prancis adalah negeri kufur. Kesalahan ‘Imarah berasal dari tidak dibedakannya antara dimensi keimanan dan dimensi peradaban dalam pemikiran al-Thahthawi, atau dengan kata lain, lemahnya pemahaman ‘Imarah terhadap skizofrenia peradaban yang dialami oleh Rifa’ah dan generasinya.
Dapat disimpulkan bahwa krisis yang dialami Rifa’ah adalah bahwa dia menjauh secara iman dari Prancis, namun mendekat—sampai tingkat ikut-ikutan—secara peradaban darinya. Dia telah gagal dalam mencetuskan pemikiran Islam yang orisinal dari metode baru untuk kebangkitan yang dapat menjawab tantangan superioritas Eropa. Disamping itu dia juga terjatuh dalam jebakan pemilahan pemikiran Islam yang sesuai dengan pemikiran Eropa modern. Ekses dari hal ini masih terasa hingga kini dibanyak sektor pemikiran Islam modern.
***
Apa yang bisa kita baca dari wacana diatas adalah bahwa ketidaksadaran peradaban akan membuat seseorang mengikuti peradaban lain seraya merasa bahwa dirinya tetap setia terhadap tradisinya dengan cara ekletisisme dan pemilah-milihan terhadap unsur tradisi yang sejalan dan sesuai dengan semangat zaman (baca: menundukkannya pada tuntutan zaman). Jadi, disini yang jadi ukuran adalah kemajuan zaman, sementara tradisi (termasuk tradisi keagamaan) adalah objek dari penyesuaian yang distandarisasi dengan kemajuan zaman.
Hal lain yang bisa kita catat dari kisah hidup Rifa’ah al-Thahthawi, sebagai orang pertama yang secara langsung bertemu secara pemikiran dengan peradaban Barat modern, adalah ”kekagetan budaya dan peradaban” yang hampir selalu dialami oleh mereka yang datang, berkunjung, atau tinggal di wilayah yang dianggap—atau memang—lebih superior daripada tempat asal mereka. Simptom yang hampir selalu muncul ialah hasrat untuk mengikuti peradaban tersebut dalam setiap aspeknya, termasuk dalam hal yang sebenarnya tidak esensial. Karena hal itu dijadikan sebagai alat identifikasi superioritas dan kemajuan seseorang atau sebuah kebudayaan.
Untuk menyikapi hal ini, saya kira, kita perlu menyikapi setiap perjumpaan kita dengan budaya dan peradaban baru yang kita jumpai (tidak harus Barat) dengan sikap biasa-biasa saja dan ojo gumunan. Seperti ketika seseorang yang sejak semula hidup dan dididik dalam lingkungan pesantren tiba-tiba harus hidup di dunia ”luar”, salah satu yang mungkin terjadi adalah usaha untuk mengidentifikasi dirinya dengan lingkungan sekitarnya yang—boleh jadi—”gaul”, permisif, dan tidak berjiwa santri. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua diluar tradisi dan peradaban kita adalah jelek dan tercela, tapi tanpa kewajaran dalam menyikapi hal baru yang dianggap lebih superior, kita menjadi rentan terjangkit virus ikut-ikutan yang tidak perlu dan kehilangan identitas. Harus selalu ada proses seleksi dalam setiap perjumpaan peradaban dan budaya, tanpa itu kita sekedar ikut-ikutan saja. Apalagi dalam tradisi keagamaan kita. WaLlahu Ta‘ala a‘lam.

Senin, 21 Februari 2011

English Literature

Sastra Inggris Kuno

Halaman utama Kronik Peterborough, kemungkinan disalin pada tahun 1150, adalah salah satu sumber utama Kronik Anglo-Saxon.
Sastra Anglo-Saxon atau sastra Inggris Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris Kuno pada periode pasca Romawi dari kurang lebih pertengahan abad ke-5 sampai pada Penaklukan Norman tahun 1066. Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, hagiografi, khotbah, terjemahan Alkitab, undang-undang, kronik, teka-teki, dan lain-lain. Secara total ada sekitar 400 manuskrip yang terlestarikan dari masa ini, sebuah korpus penting baik bagi khalayak ramai atau para peneliti.
Beberapa karya penting termasuk syair Beowulf, yang telah mencapai status wiracarita nasional di Britania. Kronik Anglo-Saxon merupakan koleksi awal sejarah Inggris. Himne Cædmon dari abad ke-7 adalah salah satu tulisan tertua dalam bahasa Inggris yang terlestarikan.
Sastra Inggris Kuno telah melampaui beberapa periode penelitian yang berbeda-beda. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 awal, fokusnya terutama ialah akar Jermanik bahasa Inggris, lalu aspek kesusastraannya mulai ditekankan, dan dewasa ini fokusnya terutama pada paleografi dan naskah manuskripnya sendiri: para peneliti mendiskusikan beberapa isyu seperti: pentarikhan manuskrip, asal, penulisan, dan hubungan antara budaya Anglo-Saxon atau Inggris Kuno dengan benua Eropa secara umum pada Abad Pertengahan.

UMAR BIN KHATTAB

Seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama baru yang dibawanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur’an. Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur’an. Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya. Dengan rahmat dan hidayah Allah, Islam telah bertambah kekuatannya dengan masuknya seorang pemuda yang gagah perkasa. Ketiga bersaudara itu begitu gembiranya, sehingga mereka secara spontan mengumandangkan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Gaungnya bergema di pegunungan di sekitarnya.

Umar masuk agama Islam pada usia 27 tahun. Beliau dilahirkan di Makkah, 40 tahun sebelum hijrah. Silsilahnya berkaitan dengan garis keturunan Nabi pada generasi ke delapan. Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Makkah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada Muhammad SAW.
Dengan masuknya Umar ke dalam agama Islam, kekuatan kaum Muslimin makin bertambah tangguh. Ia kemudian menjadi penasehat utama Abu Bakar selama masa pemerintahan dua setengah tahun. Ketika Abu Bakar mangkat, ia dipilih menjadi khalifah Islam yang kedua, jabatan yang diembannya dengan sangat hebat selama sepuluh setengah tahun. Ia meninggal pada tahun 644 M, dibunuh selagi menjadi imam sembahyang di masjid Nabi. Pembunuhnya bernama Feroz alias Abu Lu’lu, seorang Majusi yang tidak puas.
Ajaran-ajaran Nabi telah mengubah suku-suku bangsa Arab yang suka berperang menjadi bangsa yang bersatu, dan merupakan suatu revolusi terbesar dalam sejarah manusia. Dalam masa tidak sampai 30 tahun, orang-orang Arab yang suka berkelana telah menjadi tuan sebuah kerajaan terbesar di waktu itu. Prajurit-prajuritnya melanda tiga benua terkenal di dunia, dan dua kerajaan besar Caesar (Romawi) dan Chesroes (Parsi) bertekuk lutut di hadapan pasukan Islam yang perkasa. Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan, yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan. Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri yang telah di taklukkan.
Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang. Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan Khulafaurrosyidin adalah untuk mempertahankan diri.
Sejarawan Inggris, Sir William Muir, melalui bukunya yang termasyur, Rise, Decline and Fall of the Caliphate, mencatat bahwa setelah penaklukan Mesopotamia, seorang jenderal Arab bernama Zaid memohon izin Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri ke Khurasan. Keinginan jenderalnya itu ditolak Umar dengan berkata, “Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat, sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita. Demikian pula kita, kita tidak bisa menyerang mereka. Dataran Irak sudah memenuhi keinginan kita. Saya lebih menyukai keselamatan bangsaku dari pada ribuan barang rampasan dan melebarkan wilayah penaklukkan. Muir mengomentarinya demikian: “Pemikiran melakukan misi yang meliputi seluruh dunia masih merupakan suatu embrio, kewajiban untuk memaksakan agama Islam melalui peperangan belum lagi timbul dalam pikiran orang Muslimin.”
Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan perintah operasi militer secara mendetail. Pernah ketika mengadakan operasi militer untuk menghadapi kejahatan orang-orang Parsi, beliau yang merancang kopmposisi pasukan Muslim, dan mengeluarkan perintah dengan detailnya. Saat beliau menerima khabar hasil pertempurannya beliau ingin segera menyampaikan berita gembira atas kemenangan tentara kaum Muslimin kepada penduduk, lalu Khalifah Umar berpidato di hadapan penduduk Madinah: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.”
Pada tahun 634 M, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Islam dan Romawi di dataran Yarmuk. Pihak Romawi mengerahkan 300.000 tentaranya, sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang. Walaupun tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan sedih ia berteriak: “Selamat tinggal Syria,” dan dia mundur ke Konstantinopel.
Beberapa prajurit yang melarikan diri dari medan pertempuran Yarmuk, mencari perlindungan di antara dinding-dinding benteng kota Yerusalem. Kota dijaga oleh garnisun tentara yang kuat dan mereka mampu bertahan cukup lama. Akhirnya uskup agung Yerusalem mengajak berdamai, tapi menolak menyerah kecuali langsung kepada Khalifah sendiri. Umar mengabulkan permohonan itu, menempuh perjalanan di Jabia tanpa pengawalan dan arak-arakan kebesaran, kecuali ditemani seorang pembantunya. Ketika Umar tiba di hadapan uskup agung dan para pembantunya, Khalifah menuntun untanya yang ditunggangi pembantunya. Para pendeta Kristen lalu sangat kagum dengan sikap rendah hati Khalifah Islam dan penghargaannya pada persamaan martabat antara sesama manusia. Uskup agung dalam kesempatan itu menyerahkan kunci kota suci kepada Khalifah dan kemudian mereka bersama-sama memasuki kota. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar menolaknya dengan mengatakan: “Kalau saya berbuat demikian, kaum Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan mengikuti contoh saya.” Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus membayar pajak apa pun.
Penaklukan Syria sudah selesai. Seorang sejarawan terkenal mengatakan: “Syria telah tunduk pada tongkat kekuasaan Khalifah, 700 tahun setelah Pompey menurunkan tahta raja terakhir Macedonia. Setelah kekalahannya yang terakhir, orang Romawi mengaku takluk, walaupun mereka masih terus menyerang daerah-daerah Muslimin. Orang Romawi membangun sebuah rintangan yang tidak bisa dilalui, antara daerahnya dan daerah orang Muslim. Mereka juga mengubah sisa tanah luas miliknya di perbatasan Asia menjadi sebuah padang pasir. Semua kota di jalur itu dihancurkan, benteng-benteng dibongkar, dan penduduk dipaksa pindah ke wilayah yang lebih utara. Demikianlah keadaannya apa yang dianggap sebagai perbuatan orang Arab Muslim yang biadab sesungguhnya hasil kebiadaban Byzantium.” Namun kebijaksanaan bumi hangus yang sembrono itu ternyata tidak dapat menghalangi gelombang maju pasukan Muslimin. Dipimpin Ayaz yang menjadi panglima, tentara Muslim melewati Tarsus, dan maju sampai ke pantai Laut Hitam.
Menurut sejarawan terkenal, Baladhuri, tentara Islam seharusnya telah mencapai Dataran Debal di Sind. Tapi, kata Thabari, Khalifah menghalangi tentaranya maju lebih ke timur dari Mekran.
Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang diraih dalam waktu yang begitu singkat. Kita ketahui, selama pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi, Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata, ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata. Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi
kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.
Bila diteliti kitab sejarah Thabari, dapat diketahui bahwa Umar al-Faruq, kendati berada ribuan mil dari medan perang, berhasil menuntun pasukannya dan mengawasi gerakan pasukan musuh. Suatu kelebihan anugerah Allah yang luar biasa. Dalam menaklukan musuhnya, khalifah banyak menekankan pada segi moral, dengan menawarkan syarat-syarat yang lunak, dan memberikan mereka segala macam hak yang bahkan dalam abad modern ini tidak pernah ditawarkan kepada suatu bangsa yang kalah perang. Hal ini sangat membantu memenangkan simpati rakyat, dan itu pada akhirnya membuka jalan bagi konsolidasi administrasi secara efisien. Ia melarang keras tentaranya membunuh orang yang lemah dan menodai kuil serta tempat ibadah lainnya. Sekali suatu perjanjian ditandatangani, ia harus ditaati, yang tersurat maupun yang tersirat.
Berbeda dengan tindakan penindasan dan kebuasan yang dilakukan Alexander, Caesar, Atilla, Ghengiz Khan, dan Hulagu. Penaklukan model Umar bersifat badani dan rohani.
Ketika Alexander menaklukan Sur, sebuah kota di Syria, dia memerintahkan para jenderalnya melakukan pembunuhan massal, dan menggantung seribu warga negara terhormat pada dinding kota. Demikian pula ketika dia menaklukan Astakher, sebuah kota di Parsi, dia memerintahkan memenggal kepala semua laki-laki. Raja lalim seperti Ghengiz Khan, Atilla dan Hulagu bahkan lebih ganas lagi. Tetapi imperium mereka yang luas itu hancur berkeping-keping begitu sang raja meninggal. Sedangkan penaklukan oleh khalifah Islam kedua berbeda sifatnya. Kebijaksanaannya yang arif, dan administrasi yang efisien, membantu mengonsolidasikan kerajaannya sedemikian rupa. Sehingga sampai masa kini pun, setelah melewati lebih dari 1.400 tahun, negara-negara yang ditaklukannya masih berada di tangan orang Muslim. Umar al-Faruk sesungguhnya penakluk terbesar yang pernah dihasilkan sejarah.
Sifat mulia kaum Muslimin umumnya dan Khalifah khususnya, telah memperkuat kepercayaan kaum non Muslim pada janji-janji yang diberikan oleh pihak Muslimin. Suatu ketika, Hurmuz, pemimpin Parsi yang menjadi musuh bebuyutan kaum Muslimin, tertawan di medan perang dan di bawa menghadap Khalifah di Madinah. Ia sadar kepalanya pasti akan dipenggal karena dosanya sebagai pembunuh sekian banyak orang kaum Muslimin. Dia tampaknya merencanakan sesuatu, dan meminta segelas air. Permohonannya dipenuhi, tapi anehnya ia tidak mau minum air yang dihidangkan. Dia rupanya merasa akan dibunuh selagi mereguk minuman, Khalifah meyakinkannya, dia tidak akan dibunuh kecuali jika Hurmuz meminum air tadi. Hurmuz yang cerdik seketika itu juga membuang air itu. Ia lalu berkata, karena dia mendapatkan jaminan dari Khalifah, dia tidak akan minum air itu lagi. Khalifah memegang janjinya. Hurmuz yang terkesan dengan kejujuran Khalifah, akhirnya masuk Islam.
Khalifah Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Nabi SAW. sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan konsultasi. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.
Umar hidup seperti orang biasa dan setiap orang bebas menanyakan tindakan-tindakannya. Suatu ketika ia berkata: “Aku tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Mal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”
Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.
Ketika berpidato suatu kali di hadapan para gubernur, Khalifah berkata: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”
Pada saat pengangkatannya, seorang gubernur harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Menurut pengarang buku Futuhul-Buldan, di masa itu dibuat sebuah daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat ganjaran hukuman.
Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi, diangkat sebagai penyelidik keliling. Dia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.
Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”
Khalifah menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.
Pendapatan persemakmuran berasal dari sumber :
Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi Jizyah atau pajak perseorangan. Dua pajak yang disebut terakhir, yang membuat Islam banyak dicerca oleh sejarawan Barat, sebenarnya pernah berlaku di kerajaan Romawi dan Sasanid (Parsi). Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Khalifah menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.
Ia memperkenalkan reform (penataan) yang luas di lapangan pertanian, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap. Ketika orang Romawi menaklukkan Syria dan Mesir, mereka menyita tanah petani dan membagi-bagikannya kepada anggota tentara, kaum ningrat, gereja, dan anggota keluarga kerajaan.
Sejarawan Perancis mencatat: “Kebijaksanaan liberal orang Arab dalam menentukan pajak dan mengadakan land reform sangat banyak pengaruhnya terhadap berbagai kemenangan mereka di bidang kemiliteran.”
Ia membentuk departemen kesejahteraan rakyat, yang mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Sejarawan terkenal Allamah Maqrizi mengatakan, di Mesir saja lebih dari 20.000 pekerja terus-menerus dipekerjakan sepanjang tahun. Sejumlah kanal di bangun di Khuzistan dan Ahwaz selama masa itu. Sebuah kanal bernama “Nahr Amiril Mukminin,” yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, dibangun untuk menjamin pengangkutan padi secara cepat dari Mesir ke Tanah Suci.
Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.
Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.
Kebesaran Khalifah Umar juga terlihat dalam perlakuannya yang simpatik terhadap warganya yang non Muslim. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dirampas oleh pemerintahan jahiliyah kepada yang berhak yang sebagian besar non Muslim. Ia berdamai dengan orang Kristen Elia yang menyerah. Syarat-syarat perdamaiannya ialah: “Inilah perdamaian yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang non Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan ibadahnya dan tidak dianiaya dengan cara apa pun.” Menurut Imam Syafi’i ketika Khalifah mengetahui seorang Muslim membunuh seorang Kristen, ia mengijinkan ahli waris almarhum menuntut balas. Akibatnya, si pembunuh dihukum penggal kepala.
Khalifah Umar juga mengajak orang non Muslim berkonsultasi tentang sejumlah masalah kenegaraan. Menurut pengarang Kitab al-Kharaj, dalam wasiatnya yang terakhir Umar memerintahkan kaum Muslimin menepati sejumlah jaminan yang pernah diberikan kepada non Muslim, melindungi harta dan jiwanya, dengan taruhan jiwa sekalipun. Umar bahkan memaafkan penghianatan mereka, yang dalam sebuah pemerintahan beradab di zaman sekarang pun tidak akan mentolerirnya. Orang Kristen dan Yahudi di Hems bahkan sampai berdoa agar orang Muslimin kembali ke negeri mereka. Khalifah memang membebankan jizyah, yaitu pajak perlindungan bagi kaum non Muslim, tapi pajak itu tidak dikenakan bagi orang non Muslim, yang bergabung dengan tentara Muslimin.
Khalifah sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.
Khalifah yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana. Tingkat kehidupannya tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa. Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjunginya sewaktu ia sedang makan. Sang gubernur menyaksikan makanannya terdiri dari roti gersh dan minyak zaitun, dan berkata, “Amirul mukminin, terdapat cukup di kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?” Dengan agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, “Apakah Anda pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan gandum?” “Tidak,” Jawab gubernur. “Lalu, bagaimana aku dapat makan roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh seluruh rakyatku.” Tambah Umar.
Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan. Katanya, “Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan?” Seorang laki-laki bangkit dan berkata, “Anda akan kami pancung.” Umar berkata lagi untuk mengujinya, “Beranikah anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?” “Ya, berani!” jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian orang itu dan berkata, “Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan memperbaikiku.”
Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan seperti berikut untuk dia:Jis se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam Daryaan ke dil jis se dabel jaen who toofan
Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan yang menggelagakkan dalamnya sungai.
Sejarawan Kristen Mesir, Jurji Zaidan terhadap prestasi Umar berkomentar: “Pada zamannya, berbagai negara ia taklukkan, barang rampasan kian menumpuk, harta kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi mengalir dengan derasnya di hadapan tentaranya, namun dia sendiri menunjukkan kemampuan menahan nafsu serakah, sehingga kesederhanaannya tidak pernah ada yang mampu menandingi. Dia berpidato di hadapan rakyatnya dengan pakaian bertambalkan kulit hewan. Dia mempraktekkan satunya kata dengan perbuatan. Dia mengawasi para gubernur dan jenderalnya dengan cermat dan dengan cermat pula menyelidiki perbuatan mereka. Bahkan Khalid bin Walid yang perkasa pun tidak terkecuali. Dia berlaku adil kepada semua orang, dan bahkan juga bagi orang non-Muslim. Selama masa pemerintahannya, disiplin baja diterapkan secara utuh.”
Hendaknya para pemimpin negeri ini bisa mencontoh Umar bin Khattab dalam memimpin negeri ini. Mengedepankan kepentingan masyarakat luas daripada kepentingannya sendiri maupun golongannya. Menjadi pimpinan yang benar-benar bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya

Strategi Politik Umar Ibnu Khatab

PENDAHULUAN

Ada pertanyaan mendasar tentang kompatibilitas Islam dengan modernitas, atau lebih spesifik sistem politik Islam dengan sistem politik kontemporer, yakni demokrasi. Mainstream pengamat asing seperti Samuel Huntington, Soner Cagaptay, dan Rohan Gunaratna meragukan kompatibilitas tersebut. Bagi mereka, Islam dan pemeluk Islam tidak ubahnya sekumpulan orang barbar, pecinta perang (war hawkish) yang berambisi menundukkan dunia dengan pedang dan membangun pemerintahan teokrasi dunia yang menindas para perempuan, kalangan minoritas dan Non Muslim.

Dunia kini sebenarnya berada dalam realitas perang ide (battle of ideas) antara front Barat yang menjunjung demokrasi dan kebebasan melawan front Islam yang hendak memberangus kebebasan dan demokrasi serta menggantikannya dengan ‘pemerintahan dunia’ (kekhalifahan) yang menindas.

Dalam praksisnya, perbenturan ini terformulasikan dalam strategi perang anti terror (war on terror) yang diprakarsai Bush dan para komprador neoconnya namun sayangnya kini dilanjutkan Obama. Meksi demikian, tidak kurang juga para pengamat yang berpendangan positif tentang koherensi Islam dengan sistem demokrasi, seperti Greg Fealy dan John Esposito. Dalam pandangan mereka, nilai-nilai Islam dapat memberikan kontribusi bagi adanya dialog dan titik temu yang bersifat menjembatani. Bagi mereka, kebangkitan kekuatan politik Islam adalah sesuatu yang tidak dapat dibendung maka langkah terbaiknya membuka kran dialog dan kesepahaman bagi kepentingan membangun dunia yang lebih baik.

Pun dari kalangan Islam. perdebatan tentang isu diatas juga tidak kalah kerasnya. Satu pihak, terdapat kelompok yang habis-habisan menentang upaya ‘penyamaan’ Islam dengan nilai-nilai modernitas tadi. Mereka memandang demokrasi dan sistem politik kontemporer -karena tidak lahir dari rahim Islam maka dianggap bertentangan dengan Islam. Kelompok ini menegasikan sama sekali proses pembelajaran. Kita patut mengakui bahwa sejarah Islam kontemporer miskin dengan pengalaman dan sekaligus praktek pengelolaan negara secara modern dan lebih dekat dengan prinsip keadilan. Satunya peninggalan yang dianggap modern dan adil adalah sistem milliyet yang merupakan warisan dinasti Usmani. Alih-alih, kelompok ini mencoba mengkonstruksikan kekhilafahan sebagai gagasan negara Islam ideal, yang harus 100 persen sesuai dengan praktek masa lalu, tidak kurang dan tidak lebih, baik dalam konteks kelembagaan negara maupun praktek kepemimpinan.

Akibatnya, kita kesulitan memisahkan mana substansi Islam dan bukan, mana yang menjadi prinsip baku (tsawabit) dan mana yang bersifat berubah (mutaghayyirat). Rentang 14 abad, tentunya sudah cukup menjadi dalil pentingnya upaya-upaya reformatif dalam masalah-masalah sosial politik kita. Cukup bagi kita mengadopsi kecerdasan politik Umar Ibnu Khattab yang meloloskan tuntutan politik kalangan Nasrani Bani Najjar untuk mencabut kebijakan jizyah dan menerapkan kebijakan yang sama dengan kaum Muslimin.

Dalam konteks sekarang ini, boleh jadi tuntutan tersebut dapat dipersepsikan sebagai protes atas diskriminasi politik. Umar tahu benar membedakan antara substansi dan bukan, selain tidak hendak terjebak kepada perdebatan terminologi. Pihak kedua adalah kelompok yang menundukkan Islam demi kepentingan interpretasi asing dan bahkan bertentangan dengan Islam. Mereka menyediakan diri mereka menginterpreasikan Islam dengan bentuk modernitas yang sesat dan lebih jauh mendekontruksikan Islam dengan cara-cara yang sangat tercela. Kelompok ini sejatinya lahir dari para intelektual muda yang gelisah dengan malaise panjang umat. Mereka hendak mendobrak kebekuan dengan membangun kritisisme umat, namun saying kritisisme itu kebablasan. Bagi mereka, agama harus dipisahkan dari negara dan praktek dan kebebasan (tidak) beragama merupakan merupakan urusan sangat individual yang tidak dapat dicampuri siapapun.

Kita tentunya tidak hendak membangun sinisme yang sama seperti Huntington dan kawan-kawan. Kita perlu membangun jalan baru, memahami agama dengan ‘baik’ dan membangun cara berpikir yang kritis namun konstruktif. Mengutip Syaikh Yusuf Qaradhawi, kaum Muslimin perlu memadukan unsur nash (revelation) dengan akal (reasoning). Membangun akal (reasoning) membutuhkan proses interaksi, sikap terbuka dan transformasi pengetahuan secara terus menerus dengan lingkungan sekitarnya sehingga kita dapat secara optimal dalam ‘berijtihaj’. Proses ini pula, yang saya yakin mampu melahirkan pemikiran jenial Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam melihat praktek sistem politik Islam secara lebih jernih. Menurut beliau, implementasi keberagamaan kita adalah kewajiban menjalankan syariah sedangkan substansi Syariah terletak kepada kewajiban menegakkan keadilan. Oleh karena itu, beliau menegasikan eksistensi khilafah sebagai satu-satunya konstruksi politik sah dalam Islam. Apapun bentuknya sepanjang menggaransi pelaksanaan penegakan syariah Islam dan merealisasikan prinsip keadilan maka benar dalam pandangan agama. Jalan ini tidak pelak membuka ruang diskusi, dialog dan pembelajaran. Rekonstruksi ini tak pelak juga membutuhkan elemen kreatif dan inovatif gerakan Islam dalam berhidmad kepada umat. Di bagian epilog buku ini, saya sertakan beberapa kumpulan tulisan saya khusus mengamati proses kreatif dan inovatif kalangan muda Turki yang sukses memecah kebuntuan sehingga gerakan Islam mampu membuat lompatan-lompatan besar. Diantaranya, mampu menelikung syhawat militer sekuler untuk melakukan tradisi kudeta.

Tulisan ini adalah proses analitik dan sekaligus kreatif. Analitik karena melibatkan proses penyaringan sekian banyak pandapat para ulama dan saya hanya mengambil pendapat para ulama yang saya pandang dekat dengan pandangan kontemporer, sedangkan kreatif karena saya mencoba memberi cara pandang lain (out of box) didalam melihat isu ini (kasus Turki).

Tidak ada gading yang tak retak. Tulisan ini saya yakin menyimpan banyak hal yang patut ‘didiskusikan’. Dengan segala kerendahan hati, saya siap menerima kritik, saran dan masukan. Rasa terima kasih saya sampaikan kepada seluruh jajaran penerbit Era intermedia, terutama Ustadz Wahid Ahmadi dan Ustadz Cahyadi yang memberikan kesempatan saya mengekspresikan gagasan dan ide saya, demikian pula tidak lupa kepada isteri tercinta, Khotimatul Khusna dan ananda Dhiya, Yunus, Naja, Hannan dan Hasan yang sangat mendukung dan mengerti dengan ‘kesibukan’ saya. Semoga Allah membalas semua kebaikan itu.